Bisnis.com, JAKARTA - Emiten pertambangan PT Indo Tambangraya Megah Tbk. mengestimasikan pembagian dividen per saham atau DPS sekitar 80 persen dari laba bersih sepanjang 2019.
Direktur Hubungan Investor Indo Tambangraya Megah Yulius Gozali mengatakan bahwa penentuan DPS masih belum difinalisasi menanti keputusan para pemegang saham, tetapi diperkirakan berada di kisaran 80 persen.
“Kisaran sejauh ini 80 persen, memang lebih kecil dari sebelumnya karena kondisi cukup turun pada tahun lalu, cuma level DPS ini masih cukup tinggi juga dibandingkan dengan lainnya,” ujar Yulius di Jakarta, Rabu (4/3/2020).
Adapun, emiten berkode saham ITMG itu dikenal royal dalam pembagian dividen dan masuk ke dalam daftar indeks high dividen 20 di Bursa Efek Indonesia.
Berdasarkan catatan Bisnis, dalam tiga tahun terakhir ITMG telah membagikan DPS di atas kisaran 100 persen. Pada 2016, IMTG membagikan DPS di tingkat 101,47 persen, pada 2017 sebesar 103,67 persen, sedangkan pada 2018 sebesar 103,21 persen.
Pada paruh pertama 2019 perseroan telah membagikan dividen interim sebesar 44,28 persen dengan nilai Rp705 per saham.
Baca Juga
Untuk diketahui, perseroan telah mencatatkan pendapatan sebesar US$1,71 miliar pada 2019, turun 14,5 persen dari tahun sebelumnya US$2 miliar akibat penurunan penjualan ke pihak ketiga yang sebesar US$1,52 miliar dari tahun sebelumnya yang mencapai US$1,83 miliar.
ITMG juga membukukan laba bersih tahun berjalan yang dapat diatribusikan sebesar US$129,42 juta, turun 50,59 persen dibandingkan dengan laba bersih pada 2018 sebesar US$261,95 juta.
Dengan demikian, rasio laba bersih terhadap pendapat atau margin laba bersih perseroan pada 2019 juga turun menjadi hanya 8 persen dibandingkan dengan tahun lalu sebesar 13 persen.
Yulius mengatakan bahwa turunnya laba perseroan pada tahun lalu disebabkan oleh harga batu bara yang bergerak dalam tekanan sepanjang 2019. Pada tahun lalu, harga batu bara di bursa Newcastle melemah 37,49 persen.
Dari realisasi kinerja yang cenderung turun dan masih banyak ketidakpastian yang membayangi industri batu bara global, Yulius mengaku belum dapat memastikan angka pasti pertumbuhan pendapatan perseroan pada 2020 akibat harga jual batu bara yang cenderung masih fluktuatif.