Bisnis.com, JAKARTA – Rencana penerbitan saham baru atau right issue oleh PT Acset Indonusa Tbk. dinilai tidak akan memberikan solusi tepat untuk mengembalikan kinerja perseroan pada tahun ini.
Analis Binaartha Sekuritas Nafan Aji Gusta Utama mengatakan bahwa rencana tersebut hanya akan menjadi solusi jangka pendek untuk melunasi sebagian piutang. Hal ini dinilai tidak akan memberi dampak positif secara berkelanjutan.
“Saya pikir ya, solusi tersebut hanya bersifat jangka pendek, kalau kita lihat sekarang yang diperlukan oleh mereka adalah menyampaikan rencana jangka panjang terkait ekspansi dan pengembangan mereka yang lebih baik,” katanya kepada Bisnis, Rabu (26/2/2020).
Pasalnya dia menilai kerugian yang dicatatkan pada 2019 diiringi dengan kenaikan utang yang cukup besar. Hal ini membuat rasio utang terhadap ekuitas atau debt to equity ratio (DER) perseroan berada di kisaran 35 kali.
Dia mengatakan bahwa kinerja perseroan yang kurang memuaskan juga tercermin dari respons investor terhadap saham mereka. Sepanjang tahun berjalan saham emiten berkode ACST ini menurun 37,11 persen. Adapun, pada perdagangan hari ini, harga sahamnya turun 3,94 persen.
Menurutnya, dengan pergerakan yang masih bearish dia belum dapat menentukan rekomendasi terhadap saham ACST. Dia mengatakan terlalu dini untuk menentukan rekomendasi pergerakan saham tersebut.
Dia menambahkan meski Acset Indonusa merugi, hal ini tidak akan berdampak signifikan terhadap saham induk usahanya, PT Astra International Tbk. Kerugian ini dinilai masih dapat ditutupi oleh kinerja lini bisnis lain milik Grup Astra, seperti otomotif dan perkebunan.
“ASII [kode saham Astra International] saya rasa masih menunjukkan akumulasi beli karena masih punya prospek yang bagus dari lini bisnis lain. Saya pikir hal ini akan tetap berlaku selama harga saham ASII tidak menyentuh kisaran Rp5.800 per saham,” jelasnya.
Pada 2019, Acset Indonusa membukukan kenaikan pendapatan 5,96 persen secara tahunan, menjadi Rp3,94 triliun. Akan tetapi, posisi laba bersih perseroan menurun signifikan dari Rp18,28 miliar menjadi rugi Rp1,13 triliun.
Melalui keterangan resminya, perseroan menjelaskan bahwa rugi disebabkan oleh keterlambatan penyelesaian proyek Contractor Pre Financing (CPF) dan proyek struktur. Hal ini juga memberikan dampak serupa pada periode 2018.
Perseroan menyiapkan penerbitan saham baru untuk memperbaiki struktur permodalan dan pembayaran utang pada tahun ini. Perseroan juga menyatakan akan lebih selektif dalam memilih proyek di masa mendatang.