Bisnis.com, JAKARTA – PT Adhi Commuter Properti akan menjadi anak usaha emiten pelat merah teranyar yang akan melantai di bursa. Namun, analis kurang yakin saat ini adalah momentum yang tepat untuk aksi korporasi tersebut.
Analis Praus Capital Alfred Nainggolan mengatakan dalam beberapa tahun terakhir emiten-emiten badan usaha milik negara (BUMN) mengalami penurunan valuasi. Salah satu penyebabnya adalah keterkaitannya dengan kebijakan pemerintah yang bersifat politis.
“Kalau bicara BUMN, khususnya yang listing, memang ternyata tidak bisa dipungkiri ada irisan dengan kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah itu ada irisan dengan politik, dan itu risikonya cukup besar, itulah mengapa persepsi terhadap BUMN terganggu, sehingga tidak diminati pasar,” katanya kepada Bisnis, Selasa (18/2/2020).
Menurutnya, saat ini, kondisi fundamental emiten BUMN yang baik tidak menjamin akan tercermin dari valuasinya di pasar saham. Beberapa emiten BUMN dan anak usahanya, saat ini, justru dinilai memiliki valuasi yang lebih rendah dari semestinya.
Dia mencontohkan saham PT Wijaya Karya Beton Tbk. (WTON) yang saat ini divaluasi sekitar Rp 390 per saham di pasar modal. Padahal, saat pertama kali mencatatkan diri di Bursa Efek Indonesia (BEI) harga saham berada di level Rp590 per saham.
“Padahal dari 2014 sampai 2019 ekuitasnya WTON sudah naik hampir dua kali lipat. Yang mau saya katakan bahwa memang ternyata ada yang fundamentalnya bagus tapi tidak mendapatkan apresiasi dari pasar, artinya ada faktor lain, yaitu persepsi yang sudah menyusut dalam 2—3 tahun terakhir,” jelasnya.
Beberapa kebijakan pemerintah belakangan ini juga cenderung berdampak buruk bagi emiten BUMN. Kebijakan pemerintah menurunkan tarif gas, misalnya dinilai membuat harga PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. (PGAS) tertekan. Di sisi lain, penundaan kenaikan tarif tol oleh pemerintah juga menjadi penyebab volatilitas harga saham PT Jasa Marga (Persero) Tbk. (JSMR).
Dia mengatakan bahwa rencana IPO ACP, anak usaha PT Adhi Karya (Persero) Tbk., pada tahun ini akan menghadapi tantangan besar dari sisi persepsi publik. Menurutnya dengan kondisi saat ini, perseroan harus menetapkan target Price per earning (P/E) ratio lebih rendah.
“Kalau 2—3 tahun lalu ketika memang mau melepas, mereka [ADHI] bisa targetkan PE di 15 kali, tapi dengan kondisi sekarang tidak bisa lagi, tapi harus kasih valuasi yang murah. Kalau target besar, maka presentasinya [saham yang dilepas] harus mereka perbesar, itu realitas yang mereka miliki, karena itu kondisi riilnya, saat hampir semua anak usaha BUMN karya PE ratio-nya 6—8 kali,” jelasnya.