Bisnis.com, JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diprediksi mengalami rebound pada pekan depan seiring dengan potensi kenaikan bursa global.
Direktur PT Anugerah Mega Investama Hans Kwee menyampaikan pasar pada pekan depan akan rebound mengingat penurunan yang sudah cukup dalam selama sepekan ini. Di sisi lain, pasar global mulai memberikan tanda-tanda kenaikan.
“Pelaku pasar kami rekomendasikan melakukan pembelian ketika pasar melemah seperti sekarang ini,” ujarnya dalam pesan singkat, Sabtu (15/2/2020).
Pada pekan depan, area support IHSG adalah di level 5.843 sampai dengan 5.767 dan resistan di level 5.929 sampai dengan 6.013.
Indeks Harga Saham Gabungan pada perdagagngan Jumat (14/2/2020) ditutup melemah 0,09 persen atau 5,01 poin ke level 5.866,94 dari level penutupan perdagangan sebelumnya.
Hans menyampaikan pada awal pekan ini pasar sempat menguat setelah Komisi Kesehatan Nasional China melaporkan tambahan kasus baru virus corona dengan tren melambat, atau terendah sejak akhir Januari 2020.
Baca Juga
Hal Ini menimbulkan optimisme bahwa penyebaran virus korona sudah mulai mampu di atasi. Selain itu otoritas China juga mengambil berbagai lagnkah kebijakan untuk menahan penurunan ekonomi negara tersebut akibat virus corona.
Pabrik-pabrik juga mulai dibuka kembali biarpun banyak juga yang masih menunda operasi. Namun, pada tengah pekan China mengkonfirmasi telah terjadi 15.152 kasus baru dan 254 kematian tambahan.
Hal ini membuat total korban meninggal menjadi 1.367, dan jumlah orang yang terinfeksi virus corona naik banyak hampir 60.000.
Jumlah kasus baru bisa meningkat banyak karena Otoritas kesehatan di Provinsi Hubei telah mengubah metode pelaporan kasus. Hal ini membuat kekawatiran kembali memuncak di bursa global dan regional.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan jenis virus corona jelas lebih berdampak pada ekonomi dunia ketimbang epidemi SARS 2002-2003. Dampak ekonomi virus corona sangat besar terhadap ekonomi global karena China punya berkontribusi 17 persen terhadap ekonomi global.
Pada kasus wabah SARS tahun 2002-2003 ekonomi China hanya berkontribusi sekitar 4 persen terhadap ekonomi global, atau telah terjadi kenaikan empat kali lipat lebih.
Peneliti untuk pemerintah China menyatakan bahwa wabah virus corona diperkirakaan dapat mengurangi 1 persentase tingkat pertumbuhan ekonomi negara China di tahun 2020.
S&P Global Ratings telah menurunkan perkiraan pertumbuhan China di tahun 2020 dari sebelumnya 5,7 persen menjadi 5 persen akibat wabah virus corona.
Menurut Hans, dampak ekonomi dari corona akan sangat diperhatikan pelaku pasar dan menjadi tekanan bagi pasar keuangan dunia bila wabah itu belum dapat ditanggulangi.
“Meningat cukup banyak produk yang Indonesia beli dari China maka dampak virus corona akan punya pengaruh pada perekonomian kita,” paparnya.
Pernyataan penasihat kesehatan China bahwa wabah virus corona diperkirakan akan segera mencapai puncaknya dan diperkirakan akan berakhir April 2020. Menurut Hans, perkirakaan ketika wabah virus corona mencapai puncak dan mulai turun itulah waktu pasar keuangan dunia kembali akan menguat.
Sementara itu, data FactSet menunjukan sekitar 77 persen emiten dalam Indeks S&P 500 telah melaporkan kinerja keuangan. Dari data itu sebanyak 72 persen memberikan kinerja lebih baik dari perkiraan para analis, sehingga menjadi sentimen positif bagi pasar.
Dari dalam negeri pekan ini pasar juga terpengaruh oleh berita simpangsiur terkait permintaan roll over oleh beberapa perusahaan asuransi.
Beberapa alasan dikemukakan tetapi salah satunya akibat rush oleh pihak nasabah. Namun, berita ini sudah dibantah oleh pihak perusahaan terkait.
Hans menilai para pelaku pasar khususnya nasabah perusahaan asuransi terkait sebaiknya tetap tenang karena aksi rush serentak dan besar akan menimbulkan masalah.
Perusahaan keuangan yang menghimpun dana masyarakat apapun bila melakukan rush tentu akan mengalami masalah biarpun pada awalnya perusahaan tersebut sangat sehat. Bila terjadi rush perusahan terpaksa menjual aset atau surat berharga dalam portofolio dengan cepat.
Jika terjadi di kondisi pasar yang tidak baik atau kondusif seperti sekarang ini akan menyebakan penurunan harga aset atau surat berharga yang di jual, sehingga menimbulkan kerugian bagi perusahaan, nasabah, dan industri keuangan.