Bisnis.com, JAKARTA – Emiten petrokimia, PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. akan melepas sebanyak-banyaknya 7,1 miliar saham melalui aksi penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau right issue.
Direktur Chandra Asri Petrochemical Suryandi mengatakan bahwa telah mendapatkan persetujuan dari pemegang saham untuk melakukan HMETD dengan jumlah maksimal rencana pengeluaran sebesar 7,1 miliar saham dengan nilai nominal Rp200 per saham.
Persetujuan tersebut pun didapatkan dari Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) di Jakarta pada Rabu (5/2/2020).
“Sudah disetujui. Semua berkaitan tanggal, harga pelaksanaan, dan jumlah pasti akan kami umumkan selanjutnya. Sesuai ketentuan, kami masih ada 12 bulan untuk membuat ini lebih solid,” ujar Suryandi usai rapat umum pemegang saham luar biasa di Jakarta, Rabu (5/2/2020).
Adapun, pada penutupan perdagangan Rabu (5/2/2020) sesi pertama, saham emiten berkode TPIA itu berada di level Rp8.725 per saham. Apabila rights issue dilaksanakan dengan asumsi harga tersebut, maka emiten yang baru terdepak dari LQ45 itu berpotensi menggalang dana jumbo hingga Rp62,5 triliun.
Setiap pemegang saham yang tidak menggunakan haknya untuk memesan saham baru dalam HMETD akan terdilusi sebesar maksimum 29 persen. Kendati demikian, PT Barito Pacific Tbk. (BRPT) sebagai induk usaha Chandra Asri Petrochemical belum memberikan kepastian terkait jumlah saham yang akan diambil dari aksi right issue tersebut.
Baca Juga
Hingga 31 Januari 2020, komposisi pemegang saham TPIA terdiri atas PT Barito Pacific Tbk. 41,88 persen, SCG Chemicals Co. Ltd. 30,57 persen, Prajogo Pangestu 14,80 persen, Marigold Resources Pte. 4,75 persen, dan publik 7,99 persen.
Sementara itu, Suryandi mengatakan bahwa dana yang yang diperoleh dari HMETD akan digunakan perseroan seluruhnya untuk memperkuat kondisi keuangan dan belanja modal sehubungan dengan rencana perseroan untuk menambah kapasitas produksi Chandra Asri atau anak usahanya.
Dana segar tersebut juga termasuk untuk membiayai konstruksi dan operasional komplek petrokimia baru, CAP II, yang masih dalam tahap pembangunan. Proyek tersebut membutuhkan investasi sebesar US$5 miliar atau setara dengan Rp68,63 triliun (dengan asumsi kurs Rp13.762 per dolar AS).
Adapun, perseroan juga tengah menggalang pendanaan di pasar modal melalui instrumen lain. Perseroan telah menerbitkan obligasi tahap II senilai Rp750 miliar dengan bunga 8,7 persen yang jatuh tempo pada 12 Februari 2025. Obligasi tersebut akan dicatatkan di Bursa Efek Indonesia pada 13 Februari 2020.
Suryandi mengatakan bahwa himpunan dana dari kedua instrumen ini memiliki rencana penggunaan yang berbeda.
“Kalau obligasi hanya untuk modal kerja kami, kalau dari right issue sepenuhnya untuk pengembangan usaha,” jelas Suryandi.
Berdasarkan laporan keuangan perseroan hingga Juni 2019, jumlah aset lancar perseroan mencapai US$1,32 miliar, menurun dibandingkan dengan jumlah aset lancar hingga 31 Desember 2018 sebesar US$1,39 miliar.
Sementara itu, pendapatan bersih perseroan hingga paruh pertama tahun lalu mencapai US$1,053 miliar.