Bisnis.com, JAKARTA - Menurut laporan merger dan akuisisi (M&A) korporasi kedua tahunan Bain & Company yang mencakup 60% dari semua M&A besar tahun lalu, pertumbuhan dan kapabilitas aksi korporasi tersebut meningkat pesat dari tahun-tahun sebelumnya.
Aktivitas ekonomi yang fluktuatif dan regulasi pemerintah yang lebih ketat membuat sebagian besar eksekutif mengadopsi prospek risiko yang lebih tinggi pada 2019, tetapi aktivitas M&A secara mengejutkan tetap bergerak pesat.
Di Eropa dan Asia, aktivitas M&A sempat tersendat pada paruh pertama 2019 sebelum melambung menjelang akhir tahun. Sebaliknya, M&A di AS memulai tahun lalu dengan kuat sebelum berubah menjadi stagnan.
Meskipun jumlah transaksi sepanjang 2019 lebih rendah 2% dari 2018, nilai akhir dari kesepakatan M&A korporasi pada tahun lalu mencapai US$3,4 triliun, sesuai dengan data Dealogic yang termasuk dala laporan Bain & Company, yang dirilis Rabu (15/1/2020).
"Meskipun pertumbuhan ekonomi melambat tahun lalu, kondisi modal tetap menguntungkan dengan suku bunga rendah," kata Les Baird, yang memimpin praktik M&A dan Divestasi Global Bain & Company, dikutip melalui pernyataan yang diterima Bisnis.com, Rabu (15/1/2020).
Baird, yang turut terlibat dalam penulisan laporan ini, memperkirakan bahwa keterkaitan antara kondisi pertumbuhan ekonomi dan biaya modal akan tetap menjadi penentu volume merger dan akuisisi untuk beberapa tahun ke depan.
Di saat aktivitas M&A menguat, tantangannya ikut bertambah mengikuti evolusi beberapa norma lama yang mengatur M&A.
Di sisi geopolitik, Brexit dan perang perdagangan secara signifikan menurunkan selera untuk transaksi lintas regional sebesar 31% selama 9 bulan pertama tahun 2019 dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2018.
Melanjutkan penurunan volume kesepakatan merger dan akuisisi lintas-regional untuk 3 tahun berturut-turut.
Di bidang sosial, kegelisahan dari praktik kapitalisme, khususnya kekuatan perusahaan teknologi besar yang tidak terkendali membuat regulator harus bekerja lebih cermat dalam mengawasi setiap kesepakatan.
Regulator terus memperluas pengawasan mereka terhadap isu-isu baru di luar lingkup konsolidasi pasar dan menilai dampak pada akses data, kepentingan nasional dan kompetisi pada masa depan.
Merger dan akuisisi seringkali terbagi dalam dua kategori. Dalam kategori pertama, disebut Bain dengan "scope deals," di mana perusahaan mencari kemampuan baru, akses ke pasar baru atau layanan pelengkap lainnya.
Kategori kedua, yang disebut dengan "scale deals," adalah aksi korporsi di mana perusahaan bertujuan untuk meningkatkan pangsa pasar mereka dalam industri tertentu.
Sekitar 60% transaksi global dengan nilai kesepakatan lebih dari US$1 miliar dianggap sebagai scope deals, menurut perusahaan konsultan yang berbasis di Boston ini.
Angka tersebut mewakili peningkatan tujuh poin persentase dari 2018, ketika scope deals melampaui scale deals untuk pertama kalinya sejak setidaknya 2015.
"Scope M&A deals telah meningkat selama 5 tahun terakhir sebagai tanggapan terhadap gangguan pertumbuhan yang rendah dan disrupsi model bisnis di beberapa industri, terutama produk kesehatan, teknologi, dan produk konsumen,” kata Usman Akhtar, mitra Bain dalam praktik M&A Asia, yang berbasis di Jakarta.
Akhtar memperkirakan dengan kondisi pasar M&A yang menuju stabilisasi, sebagian investor yang ragu akan mengubah portofolio mereka untuk memanfaatkan mesin pertumbuhan baru dan menambah kapabilitas baru, terutama digital, untuk mendorong pertumbuhan.
Perusahaan-perusahaan lokal di Asia Tenggara masih memiliki ruang yang cukup untuk tumbuh melalui strategi scope deals untuk mengejar peningkatan penetrasi scope M&A di kawasan lain secara global.