Bisnis.com, JAKARTA — Mata uang rupiah berhasil menunjukkan kinerja yang cukup impresif pada pekan ini, kendati telah dibayangi sentimen meningkatnya ketegangan hubungan Amerika Serikat dan Iran di Timur Tengah. Kurs rupiah menutup pekan kedua Januari 2020 pada level terkuatnya sejak April 2018.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan akhir pekan, Jumat (10/1), rupiah ditutup di level Rp13.772 per dolar AS, menguat 0,595 persen atau 83 poin.
Pada pertengahan perdagangan, rupiah sempat menyentuh level tertingginya sejak April 2018 di level Rp13.745 per dolar AS.
Adapun, penguatan tersebut menjadikan rupiah sebagai mata uang dengan kinerja penguatan harian terbesar di antara mata uang Asia, mengalahkan rupee dan peso Filipina yang masing-masing menguat 0,236 persen dan 0,231 persen.
Keperkasaan rupiah juga tecermin dari kinerja mingguannya, dengan memimpin penguatan mata uang Asia dalam sepekan ini yaitu bergerak naik 1,147 persen. Secara year to date (ytd) pun, rupiah juga menjadi mata uang yang paling perkasa di Asia dengan menguat 0,683 persen.
Direktur PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa prospek perang di kawasan Timur Tengah yang membayangi rupiah sejak awal perdagangan pekan ini telah mereda, setelah Iran melakukan aksi balas dendam terhadap AS atas pembunuhan salah satu jenderal terkuatnya, Qassem Soleimani.
“AS dan Iran telah mundur dari konfrontasi lebih lanjut, membangunkan kembali minat investor untuk mengumpulkan aset berisiko termasuk rupiah,” ujar Ibrahim seperti dikutip dari keterangan resminya, Jumat (10/1).
Sementara itu, Kepala Riset dan Edukasi PT Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan bahwa rupiah yang berhasil menutup perdagangan akhir pekan di bawah level support Rp13.900 per dolar AS telah membuka peluang rupiah melanjutkan penguatan.
“Ini membuka potensi penguatan rupiah lanjutan, dengan catatan situasi Timur Tengah tidak memanas lagi,” papar Ariston saat dihubungi Bisnis.
Selain itu, keberlanjutan penguatan rupiah pada perdagangan pekan depan juga akan ditopang oleh optimisme pertemuan AS dan China untuk menandatangani kesepakatan dagang tahap pertama.
Data GDP China pada kuartal IV/2019 yang akan dirilis pekan depan pun siap membantu mendorong rupiah untuk bergerak lebih kuat. Jika data tersebut dirilis lebih atau tetap dari kisaran 6 persen akan memberikan sentimen positif terhadap aset berisiko.
FUNDAMENTAL DOMESTIK
Di sisi lain, Kepala Ekonom BCA David Sumual mengatakan bahwa penguatan rupiah juga ditopang dengan sangat baik oleh fundamental dalam negeri sehingga menarik investor global untuk melirik pasar Indonesia.
“Data inflasi, cadangan devisa cukup baik, pertumbuhan juga relatif stabil sehingga mendorong para investor untuk investasi ke portofolio Indonesia, terutama obligasi,” ujar David kepada Bisnis, Jumat (10/1).
Tercatat, imbal hasil obligasi Indonesia untuk tenor 10 tahun berhasil menembus ke bawah level 7 persen menjadi cerminan banyaknya investor tertarik terhadap aset investasi ini.
Selain itu, langkah pemerintah untuk menerbitkan global bond dengan perincian US$2 miliar untuk dolar AS dan sebesar US$1 miliar untuk euro juga menjadi amunisi pasokan valuta asing (valas) dalam negeri sehingga dapat memperbaiki cadangan devisa dalam negeri.
Harga komoditas andalan Indonesia, CPO, yang dalam 3 bulan terakhir mengalami reli juga membantu menambah pasokan valas di dalam negeri.
Pada pekan ini, Bank Indonesia (BI) merilis data cadangan devisa Indonesia periode Desember 2019 sebesar US$129,18 miliar. Angka ini meningkat US$2,5 miliar dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang tercatat US$126,63 miliar.
Secara akumulatif, sepanjang 2019 cadangan devisa Indonesia berhasil menguat sebesar US$8,5 miliar. Penguatan tersebut pun terjadi bahkan di tengah ketidakpastian perang dagang AS dan China yang memperlambat pertumbuhan ekonomi global.
STABIL BUKAN FLUKTUATIF
Kendati demikian, David mengatakan bahwa sesungguhnya yang paling penting untuk ekonomi Indonesia adalah bukan seberapa kuat rupiah tetapi kestabilan mata uang rupiah. Bank Indonesia harus tetap memperhatikan posisi rupiah agar sesuai dengan fundamentalnya, tidak dihargakan lebih rendah atau lebih tinggi dari fundamentalnya.
“Harus diperhatikan posisi rupiah sesuai fundamentalnya dan posisi yang baik untuk eksportir dan importir dalam negeri. Jangan sampai rupiah bergerak terlalu cepat, yang nantinya akan menggangu kepercayaan bisnis untuk memutuskan investasi dan konsumsi,” papar David.
Dia mengatakan bahwa untuk penguatan rupiah pada pekan ini masih berada di batas wajar sesuai dengan fundamentalnya.
Jika pergerakan menunjukkan kenaikan atau penurunan lebih atau setara 10 persen dari level Rp14.000 per dolar AS dengan jangka waktu singkat, maka pergerakan tersebut cenderung tidak sehat.
Dia memprediksi pada pekan depan rupiah masih akan bergerak menguat di kisaran level Rp13.700 per dolar AS hingga Rp13.900 per dolar AS, sama dengan perkiraan Ariston.
Sementara itu, Ibrahim memprediksi rupiah pada perdagangan Senin (13/1) berada di kisaran Rp13.725 per dolar AS hingga Rp13.790 per dolar AS.
Dalam kesempatan terpisah, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menilai penguatan ini mencerminkan sejumlah hal. Pertama, penguatan nilai tukar rupiah mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia, di mana perkiraan pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi.
“Pertumbunan ekonomi diperkirakan akan 5,1 persen—5,5 persen. Fundamental itu inflasi yang tadi itu rendah, terjaga dan kisaran sasaran 3 persen sampai 4 persen,” jelas Perry di Kompleks Bank Indonesia, Jumat (10/1).
Selain itu, defisit transaksi berjalan atau CAD juga terjaga pada kisaran 2,3 persen—3 persen terhadap PDB.
Kedua, penguatan rupiah juga konsisten dengan berlangsungnya mekanisme pasar yang baik. Hal ini tecermin dari sisi pasokan valuta asing yang lebih tinggi dari sisi permintaan.
“Pasokannya dari mana? Tentu saja dari eksportir yang menjual devisanya dari aliran modal asing masuk,” ujar Perry.