Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak mentah dunia gagal menutup 2019 di zona hijau setelah mengalami reli dalam beberapa perdagangan terakhir didukung oleh optimisme hubungan dagang AS dan China, serta meningkatnya ketegangan Timur Tengah. Kendati demikian, minyak mengalami kenaikan tahunan terbesar sejak 2016.
Berdasarkan data Bloomberg, pada akhir perdagangan tahun ini, Selasa (31/12/2019) hingga pukul 20.08 WIB, harga minyak jenis WTI untuk kontrak Februari 2020 di bursa Nymex bergerak melemah 1,09% menjadi US$61,01 per barel.
Sementara itu, harga minyak jenis Brent di bursa ICE untuk kontrak Maret 2020 terkoreksi 1% menjadi US$66 per barel.
Analis PT Monex Investindo Futures Faisyal dalam publikasi risetnya mengatakan bahwa harga minyak telah terkoreksi pada akhir perdagangan tahun ini, tetapi masih berada di jalur untuk kenaikan tahunan terbesar sejak 2016.
Sepanjang tahun berjalan 2019, harga minyak jenis Brent telah bergerak menguat sekitar 24%, sedangkan minyak mentah jenis WTI bergerak menguat sekitar 36%.
Adapun, penguatan tersebut didukung oleh optimisme kesepakatan dagang AS dan China yang dinilai akan menjadi stimulus meningkatnya permintaan ketika OPEC dan sekutunya tengah melakukan pemangkasan produksi.
Baca Juga
Faisyal mengatakan bahwa harga minyak berpeluang untuk menguat dalam jangka pendek di balik sentimen ketagangan Timur Tengah dan data indeks manufaktur China yang dirilis lebih baik daripada perkiraan pasar.
“Untuk sisi atasnya, level resisten terdekat berada di US$62,20 per barel dan menembus ke atas dari level tersebut berpeluang memicu kenaikan lanjutan menuju US$62,80 per barel sebelum menargetkan resisten kuat di US$63,40 per barel,” ujar Faisyal seperti dikutip dari risetnya, Selasa (31/12/2019).
Sebaliknya, level support terdekat untuk harga minyak berada di level US$61 per barel dan menembus ke bawah dari level tersebut berpeluang memicu kenaikan lanjutan ke US$60,4 per barel sebelum menargetkan support kuat di US$59,7 per barel.