Bisnis.com, JAKARTA – Harga emas siap membungkus 2019 dengan pencapaian mengesankan hampir sepanjang Tahun Babi Tanah. Didukung sentimen untuk aset safe haven, kilau emas diprediksi akan makin bersinar pada tahun 2020.
Harga emas di pasar spot telah melonjak lebih dari 17 persen sepanjang tahun berjalan (ytd) dan menyentuh level US$1.506,28 per troy ounce pada perdagangan Kamis (26/12/2019) pukul 19.19 WIB, berdasarkan data Bloomberg.
Pencapaian tertinggi dicatatkan pada 4 September 2019 ketika berhasil menembus level US$1.500 dan mengakhiri perdagangannya di level US$1.566 per troy ounce untuk harga emas berjangka kontrak Februari 2020 di bursa Comex.
Saat itu, aktivitas manufaktur Amerika Serikat (AS) dilaporkan berkontraksi untuk pertama kalinya dalam tiga tahun pada Agustus 2019 sehingga meningkatkan kekhawatiran pasar keuangan akan resesi di Negeri Adidaya tersebut.
Kontraksi yang dialami aktivitas manufaktur AS terjadi di tengah memburuknya hubungan perdagangan AS-China. Pertumbuhan ekonomi yang terbebani perang dagang antara kedua negara terkuat itu pun meningkatkan kemungkinan pemotongan suku bunga oleh Federal Reserve.
Baca Juga
Harga emas sampai sempat diprediksi akan melonjak melampaui level US$1.600 per troy ounce, didorong langkah pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS tersebut guna melawan perlambatan pertumbuhan dan dampak dari perang perdagangan dengan China.
Dampak negatif perang perdagangan AS-China terhadap pertumbuhan global mendorong bank-bank sentral termasuk The Fed untuk mengambil sikap yang lebih akomodatif.
Di kala aset berisiko tertekan oleh keresahan geopolitik akibat perang dagang AS-China, daya tarik aset safe haven, seperti emas, justru terangkat karena investor ramai-ramai memburu salah satu instrumen investasi ini.
Sebagai informasi, logam mulia merupakan aset tanpa imbal hasil, sehingga semakin rendah suku bunga di AS dan global akan memberikan keuntungan yang lebih besar untuk aset ini.
“Karena yield nominal turun dengan setiap pengurangan, suku bunga riil akan bergerak dan tinggal di wilayah negatif, sehingga meningkatkan daya tarik kepemilikan emas,” jelas Harry Tchilinguirian, kepala riset komoditas di BNP Paribas SA, seperti dilansir dari Bloomberg.
Pada Juli 2019, para pembuat kebijakan AS, untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade, memangkas suku bunga acuannya. The Fed kemudian melakukan langkah serupa dalam dua pertemuan kebijakan berikutnya, yakni pada September dan Oktober.
Didukung langkah pelonggaran moneter oleh The Fed, BNP memprediksi harga emas akan rata-rata bergerak di level US$1.400 per troy ounce pada 2019, naik US$60 dari perkiraan sebelumnya, dan level US$1.560 pada 2020.
Luntur Tapi Stabil
Setelah melalui lebih dari separuh perjalanannya tahun ini dengan cemerlang, emas tergelincir dari relinya dan meluntur pada November seiring dengan membaiknya hubungan dagang antara AS dan China.
Pada Oktober, kedua belah pihak sepakat untuk mengurangi sebagian tarif impor. Sentimen ini melemahkan minat investor terhadap aset safe haven dan beralih ke aset berisiko.
Sepanjang pekan pertama November saja, emas telah melemah sekitar 3,5 persen sekaligus membukukan pelemahan mingguan terbesar sejak November 2016.
Masing-masing negara sepakat untuk mengurangi tarif terhadap barang-barang satu sama lain dalam kesepakatan perdagangan fase satu jika telah dituntaskan.
Secara keseluruhan, sentimen tersebut mendukung dolar AS, saham, dan aset berisiko lebih lanjut karena de-eskalasi dalam perdagangan AS-China mengurangi risiko besar terhadap perkembangan ekonomi global.
“Sentimen keseluruhan mendukung aset berisiko. Ini positif untuk dolar AS,” ujar Tsutomu Soma, General Manager of Fixed Income Business Solutions di SBI Securities Co.
Seperti diketahui, harga emas dibanderol dengan dolar AS. Berbanding terbalik dengan penguatan greenback, biasanya harga emas akan melemah.
Pasalnya, penguatan dolar AS membuat emas menjadi lebih mahal dan berpotensi mengurangi prospek permintaan logam mulia ini dari pembeli yang membayar dalam mata uang lainnya.
Meski pamornya sedikit meluntur, harga emas pada umumnya mampu bergerak relatif stabil di tengah tarik ulur pemerintah AS dan China soal kesepakatan dagang fase satu, apalagi mengingat dukungan AS untuk para demonstran di Hong Kong, bekas koloni Inggris yang kini dikuasai China.
Investor khawatir jika rancangan undang-undang untuk mendukung para demonstran anti pemerintah di Hong Kong disahkan, maka dapat mengagalkan proses menuju kesepakatan interim antara China dan AS.
Kekhawatiran itu buktinya tak beralasan. Pemerintah AS dan China akhirnya mengumumkan perjanjian fase satu dan menangguhkan beberapa tarif pada barang masing-masing yang sedianya akan mulai berlaku pada 15 Desember.
Namun, ahli strategi pasar AxiTrader Stephen Innes berpendapat bahwa kesepakatan perdagangan antara AS dan China kemungkinan belum cukup untuk sepenuhnya memulihkan kepercayaan bisnis ataupun menghasilkan pemulihan yang berarti dalam ekspor atau investasi.
“Pedagang sekarang telah mengalihkan fokus ke jalan yang panjang dan sulit menuju kesepakatan fase dua. Jadi emas bisa kembali menguat tajam lagi,” ujar Innes, dikutip dari Bloomberg.
Di AS sendiri, meskipun terlihat belum banyak berdampak, proses pemakzulan yang tengah dihadapi Presiden Donald Trump diyakini banyak analis pasar akan menambah ketidakpastian pasar dan setidaknya membatasi koreksi harga emas di masa mendatang.
2020 Tambah Kinclong
Sementara itu, kilau harga emas diperkirakan akan bertambah pada tahun 2020, didorong permintaan dari investor ritel.
Menurut Analis logam mulia di Standard Chartered Bank, Suki Cooper, dorongan berikutnya pada harga emas akan datang dari investor ritel. Emas diperkirakan masih akan mendapat manfaat dari arus safe haven.
“Harga emas akan mencapai rata-rata US$1.510 per ounce pada kuartal IV/2019 dan US$1.570 pada periode yang sama tahun depan,” tutur Cooper kepada Bloomberg pada Oktober.
Meski sebagian minat investor terhadap aset berisiko pulih setelah kedua negara menyepakati perjanjian perdagangan parsial, investor tetap menambah kepemilikan dalam ETF (exchange-traded funds) yang didukung emas. Kepemilikan ini bahkan sempat mendekati level rekor yang terakhir kali dicatatkan pada 2012.
“Kita telah melihat kepemilikan ETF dan investasi taktis mencapai level tinggi, tetapi kami pikir permintaan ritel benar-benar akan menjadi pendorong (harga emas) lebih tinggi,” terang Cooper.
Tren serupa terjadi pada 2011, ketika dorongan awal lebih tinggi didorong oleh aliran ETF dan investor taktis. Meski demikian, permintaan ritel tidak meresponsnya selama 12 hingga 18 bulan berikutnya, menurut Cooper.
“Meski progres pembicaraan perdagangan telah memicu aksi ambil untung jangka pendek dalam emas, yang bisa berlanjut sebagai kembalinya minat untuk aset berisiko, dalam jangka panjang harga condong ke sisi atas,” papar Cooper.
James Steel, kepala analis logam mulia di HSBC Securities (USA) Inc., berpendapat emas akan menutup tahun 2019 di level US$1.555 dan menutup tahun 2020 di US$1.605.
Meski ia melihat dua hambatan utama untuk emas yakni penguatan dolar AS dan berkurangnya permintaan fisik di pasar negara berkembang, emas disebutnya masih bullish di antaranya didukung risiko geopolitik yang masih akan membayangi.
“Gabungan faktor-faktor pendorong emas tampak lebih dominan ketimbang faktor-faktor yang akan membebaninya,” pungkas Steel.
Proyeksi lebih ekstrem disampaikan Australia and New Zealand Banking Group (ANZ). Sektor logam mulia diperkirakan akan mengungguli komoditas lain untuk tahun kedua berturut-turut pada 2020.
Harga emas diproyeksi akan naik terus sepanjang 2020 dan memuncak di level US$1.620 pada bulan Desember tahun tersebut.
"Meski ketidakpastian terkait dengan perdagangan AS-China dan Brexit telah mencapai puncaknya pada 2019, kami yakin risiko geopolitik dan makroekonomi akan tetap meningkat tahun depan,” tulis ahli strategi komoditas senior Daniel Hynes dan ahli strategi komoditas Soni Kumari dalam ANZ's 2020 outlook.
“Tema de-dolarisasi yang sedang berlangsung akan menyebabkan minat investor untuk emas tetap kuat,” papar mereka, seperti dilansir dari Kitco.
Agenda pemilihan presiden (pilpres) AS yang digelar tahun depan akan menjadi salah satu risiko untuk diawasi karena hal itu berdampak langsung pada pasar keuangan.
“Dengan beberapa kemungkinan hasil [pilpres], kami melihat ruang untuk volatilitas pasar. Ini akan membawa sentimen bagi aset-aset safe haven untuk menorehkan performa hingga 2020,” jelasnya.
Tingkat suku bunga yang lebih rendah pada skala global juga disebut akan mendukung emas pada tahun depan. Jeda kenaikan suku bunga The Fed saat ini dipandang tidak akan mengurangi minat investor mengingat inflasi yang stabil ke lebih tinggi menjaga suku bunga lebih rendah pada tahun 2020.
Faktor lain yang menyebabkan emas dapat menembus level US$1.600 per troy ounce pada tahun 2020 adalah dolar AS yang lebih lemah, tambah ANZ.
“Apresiasi dolar AS kemungkinan akan berkurang, saat risiko penurunan meningkat hingga 2020. Dengan pengaturan kebijakan yang lebih stabil, dolar AS kemungkinan akan stabil dan diperdagangkan dalam kisaran yang ketat,” tulis Hynes dan Kumari.