Bisnis.com, JAKARTA – Harga nikel jatuh di bawah US$16.000 per ton setelah pemerintah Indonesia mengizinkan beberapa produsen untuk mengekspor bijih nikel, penangguhan larangan ekspor singkat.
Berdasarkan data Bloomberg, harga nikel di London Metal Exchange (LME) ditutup amblas 3,86 persen atau 625,00 poin ke posisi US$15.565 per ton, Senin (11/11), melanjutkan melemah di sesi pembuka, sebesar 0,22 persen atau 35,00 poin ke posisi US$16.155 per ton. Level ini menjadi penurunan keenam beruntun dan kerugian terpanjang sejak awal Juni.
Pada Selasa (12/11), harga logam tersebut sekarang kembali pada tingkat yang terakhir terlihat pada Agustus, saat rumor tentang larangan bijih nikel Indonesia pertama kali mulai berputar.
Daniel Briesemann, analis di Commerzbank AG mengatakan, ekspor kembali normal, sehingga mengurangi beberapa tekanan di pasar nikel global yang belum tersuplai.
Sembilan perusahaan di Indonesia dibebaskan untuk ekspor dan dua lagi sedang menunggu pemeriksaan kargo mereka. Keputusan Indonesia untuk mengajukan larangan penjualan ke luar negeri ke awal tahun depan melatarbelakangi lonjakan 46 persen harga nikel tahun ini.
Harga nikel juga menghadapi tekanan seiring dengan tanda-tanda penurunan permintaan di China, negara pengguna terbesar.
Baca Juga
“Penurunan harga baja nirkarat [stainless steel] di China merusak sentimen dan memicu aksi jual nikel,” kata Wenyu Yao, ahli strategi komoditas senior di ING Bank.
Harga baja putih di Wuxi, China, pasar utama untuk perdagangan stainless steel, telah turun 2,5 persen bulan ini.
Kendati harga nikel yang terus merosot, logam tersebut masih menjadi yang terbaik di LME, dengan sebagian kontrak lainnya diperdagangkan datar atau lebih rendah sepanjang tahun ini, karena perlambatan ekonomi global.
Sementara itu, harga tembaga tergelincir 0,8 persen setelah Presiden Donald Trump menganggap tidak benar laporan tentang seberapa banyak AS siap untuk mengembalikan beberapa tarif China, mengeruhkan harapan untuk kesepakatan perdagangan.
Adapun harga zinc atau seng menguat 0,6 persen, satu-satunya pemenang di antara logam dasar LME utama. Persediaan yang dilacak oleh LME telah jatuh kembali ke level terendah dalam hampir tiga dekade, setelah stok menurun di AS.