Bisnis.com, JAKARTA – Harga emas diperkirakan bakal bertambah sinarnya pada tahun 2020, didorong permintaan dari investor ritel.
Menurut Analis logam mulia di Standard Chartered Bank, Suki Cooper, dorongan berikutnya pada harga emas akan datang dari investor ritel. Setelah menguat ke level tertinggi dalam lebih dari enam tahun, emas diperkirakan masih akan mendapat manfaat dari arus safe haven.
“Harga emas akan mencapai rata-rata US$1.510 per ounce pada kuartal IV/2019 dan US$1.570 pada periode yang sama tahun depan,” tutur Cooper, seperti dilansir melalui Bloomberg, Selasa (15/10/2019).
Harga emas telah meningkat 16 persen sepanjang tahun ini di tengah langkah penurunan suku bunga acuan oleh bank-bank sentral dunia dan lesunya pertumbuhan global akibat perang dagang Amerika Serikat-China yang berkepanjangan.
Perang dagang dua ekonomi terkuat di dunia tersebut yang telah berlangsung selama 15 bulan terakhir mendongkrak daya tarik sekaligus permintaan untuk aset safe haven ini.
Meski sebagian minat investor terhadap aset berisiko pulih setelah kedua negara menyepakati perjanjian perdagangan parsial pada Jumat (11/10/2019), investor tetap menambah kepemilikan dalam ETF (exchange-traded funds) yang didukung emas. Kepemilikan ini dilaporkan mendekati level rekor yang terakhir kali dicatatkan pada 2012.
“Kita telah melihat kepemilikan ETF dan investasi taktis mencapai level tinggi, tetapi kami pikir permintaan ritel benar-benar akan menjadi pendorong (harga emas) lebih tinggi,” terang Cooper dalam sebuah wawancara.
“Investor ritel hampir menginginkan konfirmasi penurunan suku bunga lebih lanjut, juga beberapa penurunan di pasar ekuitas sebelum mereka beralih ke emas. Dorongan berikutnya yang lebih tinggi pada tahun 2020 akan dipimpin oleh sisi ritel,” lanjutnya.
Tren serupa terjadi pada 2011, ketika dorongan awal lebih tinggi didorong oleh aliran ETF dan investor taktis. Meski demikian, permintaan ritel tidak meresponsnya selama 12 hingga 18 bulan berikutnya, menurut Cooper.
“Meski progres pembicaraan perdagangan telah memicu aksi ambil untung jangka pendek dalam emas, yang bisa berlanjut sebagai kembalinya minat untuk aset berisiko, dalam jangka panjang harga condong ke sisi atas,” papar Cooper.
Harga emas di pasar spot cenderung stabil di level US$1,491.63 per ounce pada Selasa (15/10/2019), setelah membukukan reli bulan lalu ke US$1,557,11, level tertinggi sejak 2013.
Di sisi lain, tingginya harga emas telah memukul permintaan konsumen, terutama di pasar negara berkembang. Konsumsi perhiasan China diperkirakan turun 4 persen menjadi sekitar 660 ton tahun ini, menurut perkiraan dari Metals Focus Ltd.
James Steel, kepala analis logam mulia di HSBC Securities (USA) Inc., berpendapat emas akan menutup tahun 2019 di level US$1.555 dan menutup tahun 2020 di US$1.605.
“Kebijakan moneter yang lebih longgar secara global, imbal hasil rendah, dan risiko geopolitik adalah faktor pendukungnya,” ujarnya. Baik HSBC dan Standard Chartered memperkirakan bank sentral AS Federal Reserve akan sekali lagi memangkas suku bunga tahun ini.
Meski ia melihat dua hambatan utama untuk emas yakni penguatan dolar AS dan berkurangnya permintaan fisik di pasar negara berkembang, emas disebutnya masih bullish.
“Gabungan faktor-faktor pendorong emas tampak lebih dominan ketimbang faktor-faktor yang akan membebaninya,” pungkas Steel.