Bisnis.com, JAKARTA -- Negara produsen karet terbesar di dunia, yaitu Thailand, Indonesia, dan Malaysia, dijadwalkan bertemu di Bangkok pada November 2019, untuk membahas langkah lanjutan dalam upaya menopang harga karet alam.
Menteri Perdagangan (Mendag) Indonesia Enggartiasto Lukita menyampaikan hal itu saat menghadiri konferensi Association of Natural Rubber Producing Countries (ANRPC).
Dia mengatakan upaya ketiga produsen karet yang tergabung dalam International Tripartite Rubber Council (ITRC) dengan memangkas ekspor hingga 300.000 ton untuk menopang harga karet yang tertekan, tampak tidak efektif. Hal tersebut tercermin dari harga karet yang masih rendah.
Pembatasan ekspor yang dilakukan produsen karet Indonesia dan Malaysia selama 4 bulan telah berakhir pada Juli 2019, sedangkan untuk Thailand berakhir pada bulan lalu. Ketiga negara tersebut menyumbang dua pertiga produksi karet alam global.
Oleh karena itu, Enggartiasto menilai diperlukan upaya lebih lanjut untuk menopang harga karet yang telah terdepresiasi 13,37 persen sepanjang tahun berjalan 2019 di bursa Tocom. Salah satunya, dengan membentuk satuan tugas dari ANRPC untuk membahas berbagai masalah dan memberikan rekomendasi komprehensif untuk pertemuan ITRC berikutnya, termasuk langkah menopang harga.
"Jika kami terus mengendalikan pasokan, sedangkan permintaan tetap tinggi, kemungkinan besar pada titik tertentu harga akan meningkat,” ujarnya seperti dilansir Bloomberg, Senin (7/10/2019).
Baca Juga
Enggar mengatakan Indonesia akan melanjutkan program yang akan meningkatkan permintaan karet domestik, termasuk pembangunan jalan dengan bahan baku karet sepanjang 65,7 kilometer (km).
Pembangunan jalan karet tersebut dinilai akan mengonsumsi sekitar 110.000 ton karet pada tahun ini, sehingga konsumsi karet domestik naik menjadi 1 juta ton dalam 5 tahun mendatang dari sebelumnya sekitar 630.000 ton pada tahun ini.
“Kami tidak ingin didikte oleh pasar. Cara yang paling efektif adalah menciptakan permintaan domestik, seperti yang kami lakukan untuk minyak kelapa sawit dengan B20 hingga B100 dan untuk karet, arahan dari Presiden adalah untuk segera memulai dengan jalan-jalan yang dilapisi karet,” paparnya.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Senin (7/10) hingga pukul 13.15 WIB, harga karet berjangka di bursa Tocom untuk kontrak Maret 2020 bergerak melemah 0,76 persen menjadi 155,9 yen per kilogram (kg).
Sementara itu, harga karet berjangka di bursa Singapura untuk kontrak Januari 2020 berhasil rebound setelah melemah sepanjang 9 perdagangan berturut-turut, dengan bergerak menguat 0,16 persen menjadi US$126,1 per kg.
Pelemahan harga karet pada pekan ini dipicu oleh Chongqing General Trading Chemical Co, pedagang karet terbesar di China, yang berhenti berurusan dengan karet dan meminta pemasok pada 27 September 2019, untuk menghentikan eksekusi semua kontrak yang belum selesai. Berita tersebut menciptakan kepanikan jangka pendek di pasar dan selanjutnya dapat menunda kebangkitan harga karet.
Sentimen negatif lainnya adalah prospek pelemahan permintaan akibat ketidakpastian perang dagang antara dua raksasa ekonomi, AS dan China, yang masih berlangsung sejak tahun lalu.
Di sisi lain, dikutip dari laman resmi ANRPC, berdasarkan perkiraan awal, produksi karet alam dunia menciut 6,5 persen menjadi 4,39 juta ton selama 5 bulan pertama 2019, secara tahunan. Sementara itu, konsumsi tercatat naik 0,9 persen menjadi 5,78 juta ton, dari 5,37 juta ton selama periode yang sama pada tahun lalu.