Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah berjangka menuju penurunan mingguan terbesar sejak pertengahan Juli 2019, karena serangkaian data ekonomi mengecewakan dari AS dan negara lain meningkatkan kekhawatiran terjadi resesi.
Data Bloomberg menunjukkan bahwa harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) menguat tipis 0,34 persen atau 0,18 poin ke posisi US$52,63 per barel pada Jumat (4/10/2019) pukul 13.22 WIB. Sementara itu, harga minyak mentah Brent menguat 0,35 persen atau 0,20 poin ke posisi US$57,91 per barel.
Namun, secara keseluruhan, harga kedua jenis minyak ini turun sekitar 6 persen pada pekan ini.
Seperti diketahui, indeks utama aktivitas industri jasa AS turun ke level terendah dalam 3 bulan terakhir, sedangkan indeks ketenagakerjaan membukukan hasil terlemahnya dalam lebih dari 5 tahun. Kondisi itu terjadi setelah angka pengupahan dan manufaktur berada di bawah perkiraan pada awal pekan ini.
Memburuknya ekonomi AS dan makin banyak tanda-tanda kelemahan di China serta Jerman, memperparah prospek yang telah rapuh.
Adapun rekor kenaikan harga minyak pascaserangan 14 September 2019 di Arab Saudi pun telah menguap seiring cepatnya pemulihan produksi di kerajaan tersebut.
Baca Juga
Daniel Hynes, ahli strategi komoditas senior di Australian & New Zealand Banking Group Ltd. di Sydney, mengatakan latar belakang pelemahan harga minyak sudah jelas.
“Namun, pasar mengambil pendekatan gelas setengah kosong pada saat ini, karena penurunan permintaan minyak yang signifikan belum terlihat,” ujarnya.
Indeks manufaktur utama AS jatuh ke level terendah dalam 10 tahun terakhir pada Selasa (1/10), karena bisnis menahan investasi di tengah tarif dan perang dagang AS-China.
Hal ini diikuti data stagnannya perekrutan tenaga kerja di perusahaan AS, yang dirilis sehari setelahnya. Sementara itu, angka penjualan kuartalan dari produsen mobil seperti Ford Motor Co menambah kekhawatiran.
Di sisi lain, Arab Saudi yang merupakan pengekspor minyak mentah terbesar dunia telah mengerek semua harga untuk penjualan minyak November 2019 ke Asia. Langkah ini dilakukan karena naiknya margin pengilangan.
Sementara itu, perusahaan minyak negara Venezuela secara singkat memangkas produksi di Orinoco Belt, yang menyumbang sekitar setengah dari total produksi nasional, hingga maksimum 200.000 barel per hari setelah naiknya persediaan.
Jeffrey Halley, analis pasar senior di OANDA di Singapura, menuturkan kemungkinan ada beberapa pembelian di pasar Asia, karena para spekulan melihat potensi risiko geopolitik pada akhir pekan.
"Meskipun, sejauh ini masih tenang dan China masih libur," ujarnya seperti dikutip dari Reuters.