Bisnis.com, JAKARTA – Bahana Sekuritas menilai harga saham rokok masih berfluktuasi hingga Oktober seiring dengan rencana kenaikan tarif cukai dan harga jual eceran rokok tahun depan yang di luar perkiraan pasar.
Pada Jumat (13/9/2019), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Presiden Joko Widodo beserta kementerian terkait telah sepakat untuk menaikkan rata-rata cukai rokok secara total sebesar 23 persen dan harga jual eceran (HJE) naik sebesar 35 persen, yang efektif akan berlaku sejak 1 Januari 2020.
Ini menjadi sentimen negatif bagi emiten rokok tercermin dari harga saham produsen rokok yang melemah cukup tajam pada awal perdagangan pekan ini.
Analis Bahana Sekuritas Giovanni Dustin mengatakan, rencana kenaikan tarif cukai ini memang cukup mengejutkan pelaku pasar karena merupakan kenaikan cukai tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Namun, ini sebenarnya bisa dimengerti karena pemerintah tidak menaikkan tarif cukai pada tahun ini.
Dengan rencana kenaikan tersebut, sekuritas yang dimiliki Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) ini, menilai volatilitas saham rokok masih akan berlanjut sampai Oktober hingga pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang lebih detailnya.
“Dengan kenaikan ini, sebenarnya sama saja seperti pemerintah menaikkan cukai pada tahun ini, yang setiap tahunnya berada pada kisaran 10 persen - 12 persen, dan pada tahun depan dengan kisaran yang sama,” terangnya dalam keterangan resmi pada Kamis (19/9/2019).
Baca Juga
“Hanya saja, kenaikan itu menjadi double pada tahun depan, karena tahun ini tidak ada kenaikan tarif, namun kita perlu melihat lebih rinci detail PMK-nya nanti,” imbuhnya.
Dalam hitungan sementara Bahana, dengan rencana kenaikan rata-rata tarif cukai sebesar 23 persen, produsen rokok akan membebankan kenaikan tersebut kepada konsumen dengan menaikkan harga jual rata-rata sekitar 16 persen - 18 persen.
Dengan rencana kenaikan ini, Bahana menilai PT Gudang Garam Tbk. akan sedikit lebih sulit membebankan seluruh beban kenaikan cukai ini kepada konsumennya karena produksi rokoknya masih lebih didominasi oleh rokok untuk kalangan menengah-bawah.
Sementara itu, PT HM Sampoerna Tbk. akan sedikit lebih leluasa menaikkan harga rokoknya karena portfolio produk rokok yang lebih berimbang. “Saat ini harga saham rokok secara valuasi sudah cukup atraktif, namun tekanan dan ketidakpastian masih akan ada hingga pemerintah mengeluarkan PMK detailnya,” katanya.
“Kami tidak melihat kenaikan tarif cukai di atas 20 persen ini masih akan berlanjut hingga beberapa tahun kedepan,” imbuhnya.
Bahana memberi rekomendasi beli atas saham HM Sampoerna dengan target harga Rp4.150 per saham sebagai pilihan terbaik, karena produksi rokoknya yang lebih beragam sehingga lebih leluasa dalam menyesuaikan harga. Emiten bersandi saham HMSP ini juga memiliki cashflow yang lebih sehat untuk menopang dividen.
Rekomendasi beli juga diberikan kepada saham GGRM target harga Rp90.200 per saham. Keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai yang cukup mengejutkan pasar untuk mengurangi konsumsi rokok nasional dan meningkatkan kesehatan masyarakat, mengurangi rokok ilegal serta mendorong kenaikan pendapatan negara.
Pada perdagangan sesi I Kamis (19/9/2019), mayoritas saham emiten rokok ditutup melemah. Saham HMSP ditutup melemah 0,42 persen ke level Rp2.360, sedangkan saham GGRM melemah 0,14 persen ke level Rp55.350.
Adapun, saham WIIM melemah 1,96 persen pada level Rp200 dan saham ITIC melemah 12,05 persen ke level Rp1.095. Hanya saham RMBA yang ditutup naik 2,26 persen pada harga Rp362.