Bisnis.com, JAKARTA - Dolar AS kembali naik di tengah meningkatnya ketegangan antara AS dan China sehingga menguatkan perkiraan resesi AS oleh pasar.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Rabu (28/8/2019) hingga pukul 11.22 WIB, dolar AS menguat terhadap mayoritas pasangan mata uang mayornya, termasuk yen, euro, dan pound sterling, sehingga membuat indeks dolar AS bergerak menguat 0,09% menjadi 98,087.
Mengutip Bloomberg, jika kekuatan greenback terus naik dan pertumbuhan ekonomi AS terus menyusut, beberapa ahli khawatir kombinasi tersebut akan membuat AS berada dalam ancaman resesi. Adapun, sepanjang tahun berjalan 2019 indeks dolar AS telah bergerak menguat 1,87% dan sempat menyentuh level tertinggi sejak Mei 2017.
Ahli Strategi Valuta Asing Bank of Amerika Ben Randol mengatakan bahwa pada akhirnya jika kombinasi tersebut terus terjadi pemerintah akan memberikan perhatian lebih terhadap masalah ini karena akan mendorong dislokasi fundamental yang tidak berkelanjutan.
Indikator Federal Reserve Bank of New York menunjukkan lebih dari 30% kemungkinan penurunan ekonomi dalam 12 bulan ke depan.
Ekspor dan investasi adalah bagian penting dari produk domestik bruto AS, sehingga satu dolar yang naik seiring dengan turunnya suku bunga maka ekonomi AS hanya akan bergantung kepada konsumen dan kebijakan fiskal untuk mendorong pertumbuhannya.
Baca Juga
Kenaikan mata uang AS tidak hanya cenderung mengikis keuntungan perusahaan multinasional Amerika, tetapi juga meningkatkan biaya perusahaan asing yang memiliki triliunan utang dalam mata uang dolar AS.
Tekanan dari kekuatan greenback pada ekonomi negara lain bahkan dapat mendorong negara-negara tersebut untuk bergabung dengan AS yang berupaya untuk melemahkan greenback.
"Jika AS dapat membuat keprihatinannya didengar dengan mitra internasionalnya, maka AS berpotensi mendapatkan beberapa dukungan untuk intervensi terkoordinasi yang dapat menekan kekuatan dolar AS," ujar Ben Randol seperti dikutip dari Bloomberg, Rabu (28/8/2019).
Selain itu, Analis Valuta Asing Klarity FX Andy Sierocinski mengatakan, kekuatan dolar AS selama setahun terakhir menggarisbawahi adanya pelemahan di tempat lain di dunia dan tentu saja membuat pasar khawatir.
"Jika Fed memotong suku bunga, dolar AS akan melemah, tetapi masalahnya di seluruh dunia akan mengimbangi itu. Oleh karena itu, masalah dolar yang kuat tidak hilang begitu saja,” ujar Andy.
Sementara itu, narasi pasar terhadap dolar AS sejauh ini telah difokuskan pada prospek perang mata uang, alur cerita mungkin berakhir dipusatkan pada intervensi terkoordinasi yang mirip terjadi pada 2000 silam, ketika bank sentral bergabung untuk mendukung euro untuk menguat.
Agar efektif, analis menilai intervensi harus dikoordinasikan oleh bank sentral global dan kementerian keuangan, sehingga pemerintah AS tidak dapat berharap untuk mencapai dolar AS yang lebih lemah sendirian.