Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menyatakan devaluasi Yuan akan membuat pertumbuhan produksi industri benang dan kain berada di zona merah pada tahun ini dari proyeksi pertumbuhan sebelumnya 0%. Pasalnya, harga benang dan kain yang diimpor akan jauh lebih murah, sehingga voluem yang masuk pun bertambah.
Sekretaris Jenderal ASyFI Redma Wirawasta memproyeksi devaluasi Yuan pada akhirnya juga akan berdampak pada industri garmen. Hal tersebut ditunjukkan dengan pertumbuhan volume garmen impor yang bertambah tiap tahunnya.
“Meskipun impornya sedikit, tapi pertumbuhannya besar. Konveksi juga sudah mulai ngap-ngapan. Para IKM [industri kecil dan menengah] sudah mulai mengeluh karena sudah mulai masuk impor garmen baju-baju muslim. Kebanyakan dari China dan Vietnam, tapi paling banyak China,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (11/8/2019).
Redma menambahkan pertumbuhan volume impor garmen busana muslim yang besar tersebut juga sudah mulai berdampak pada IKM garmen. APSyFI mencatat telah ada sekitar 36.ooo tenaga kerja yang diputus kontraknya pada semester I/2019 akibat pertumbuhan volume garmen di wilayah Jawa Barat dan Banten.
Selain itu, gudang-gudang produsen benang dan kain di Jawa Tengah dan Timur telah menumpuk satu bulan terakhir karena pasar domestik telah jenuh akan produk impor. Maka dari itu, Redma memproyeksikan devaluasi Yuan akan menjadikan proyeksi produksi ke zona merah.
Untuk menghadapi devaluasi Yuan, Redma mengusulkan agar pemerintah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 64/2017 untuk mengurangi produk kain dan benang impor. Menurutnya, pemerintah harus memperketat penerbitan Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) dan meniadakan API umum (API-U).
Adapun, pengetatan tersebut dilakukan dengan melampirkan tagihan listrik pabrik dan bukti pembayaran kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Kedua hal tersebut akan membuktikan apakah pemilik AI-P benar-benar melakukan produksi atau tidak.
Redma mengutarakan revisi Permendag tersebut kini hanya menunggu persetujuan Menteri Perdagangan sebelum diberlakukan. Redma memproyeksikan pengubahan beleid tersebut akan membuat volume produksi benang dan kain lokal meroket hingga 30% secara tahunan.
“Begitu impor borongan dihentikan [2 tahun lalu] volume impor turun 30%. Kalau waktu itu impor borongan benar-benar stop dan kondisi itu bisa bertahan 2 tahun, investasi bisa nambah banyak,” katanya.
Untuk jangka menengah dalam menghadapi devaluasi Yuan, Redma menyarankan untuk mengajukan trade remedies ke seluruh sektor industri tekstil dan produk tekstil selama 3 tahun. Pasalnya, jika yang mendapat perlindungan hanya industri kain dan benang, produk impor ditakutkan justru akan membanjiri industri garmen.
Adapun, Redma mengajukan penerbitan regulasi terkait penurunan biaya produksi seperti tarif gas, listrik, bahan baku, dan tenaga kerja. Hal tersebut berguna untuk memantapkan daya saing industri nasional di pasar regional dan global. “Kalau itu sifatnya permanen. Kalau langsung ke sana, kan pemerintah juga [susah],” ucapnya.