Bisnis.com, JAKARTA – Bursa Asia dan Eropa kompak menguat bersama indeks futures Amerika Serikat (AS) pada perdagangan siang ini, Kamis (8/8/2019), setelah penetapan tingkat harian mata uang China yang lebih kuat dari perkiraan meredakan kekhawatiran tentang memburuknya konflik perdagangan.
Berdasarkan data Bloomberg, indeks MSCI Asia Pacific menguat 0,3 persen, kenaikan terbesar dalam lebih dari sepekan. Adapun indeks Stoxx Europe 600 menanjak 1,1 persen dan indeks futures S&P 500 naik 0,3 persen pada pukul 08.14 pagi waktu London (pukul 14.14 WIB).
Sementara itu, indeks FTSE 100 Inggris naik 0,6 persen, kenaikan pertama dalam lebih dari sepekan, dan indeks DAX Jerman menguat 1,4 persen, kenaikan terbesar dalam lebih dari sepekan.
Dilansir dari Bloomberg, bank sentral China menetapkan nilai tukar referensi harian yuan lebih kuat dari level 7 per dolar AS untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade terakhir.
People’s Bank of China (PBOC) menetapkan nilai referensi hariannya di level 7,0039 yuan per dolar AS hari ini. Meskipun yuan menembus level 7 per dolar AS pekan ini untuk pertama kalinya sejak Mei 2008, namun bank sentral belum menetapkan nilai referensi di level ini sebelumnya.
Angka referensi ini lebih kuat dari proyeksi rata-rata 21 pelaku pasar dan analis dalam survei Bloomberg yang mencapai level 7,0156. Alhasil, nilai tukar yuan diperdagangkan menguat terhadap dolar AS hari ini.
Baca Juga
Nilai referensi harian yuan telah menjadi angka yang diawasi ketat oleh para pelaku pasar pekan ini setelah tingkat referensi yang lemah pada Senin (5/8) memicu pelemahan terbesar dalam mata uang yuan sejak 2015 sekaligus memicu kekhawatiran tentang perang mata uang global.
Langkah PBOC ini dipandang sebagai upaya untuk menstabilkan mata uangnya dan meredakan keresahan pasar, ketika nilai referensi yang lemah membantu memicu pelemahan tajam yuan dan serta kekhawatiran pelemahan lebih lanjut.
Namun, di sisi lain, pedagang tetap gelisah tentang potensi eskalasi dalam perang dagang China dengan AS.
“Ini merupakan sinyal bahwa mereka [PBOC] ingin membendung depresiasi yang terjadi guna mengendalikan sentimen dan menghindari aliran capital outflow,” tutur Andrew Tilton, kepala ekonom untuk Asia Pasifik di Goldman Sachs.
Turut menopang sentimen pasar, ekspor China secara tak terduga naik pada bulan Juli di tengah tekanan perdagangan dengan AS.
Berdasarkan data administrasi bea cukai China, ekspor meningkat 3,3 persen pada Juli dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, kenaikan terbesar sejak Maret 2019.
Sementara itu, nilai impor turun 5,6 persen pada periode yang sama. Dengan ini, neraca perdagangan tercatat surplus sebesar US$45,1 miliar.
Capaian ekspor ini jauh melampaui estimasi sejumlah analis yang memperkirakan penurunan sebesar 1 persen, sebentara impor sebelumnya diperkirakan turun hingga 9 persen.