Bisnis.com, JAKARTA — Analis menilai secara historis, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung mengalami tren penguatan menjelang libur Lebaran dalam 6 tahun terakhir.
Berdasarkan data Bloomberg, IHSG ditutup menguat 105,11 poin atau 1,72 persen ke level 6.209,117 pada penutupan perdagangan, Jumat (31/5/2019). Sepanjang periode berjalan 2019, laju indeks tercatat menguat tipis 0,24 persen.
Pada perdagangan terakhir jelang libur perdagangan Lebaran 2019, IHSG bergerak ke level support 6.110,479 dan resistance 6.209,117.
Kepala Riset Koneksi Kapital Alfred Nainggolan menjelaskan bahwa IHSG mengalami tren penguatan secara historis menjelang libur Lebaran atau Idulfitri dalam 6 tahun terakhir. Kondisi serupa terjadi pada tahun ini.
Dalam 2 pekan terakhir, lanjutnya, IHSG mengalami rebound. Sebelumnya, laju pergerakan indeks terpantau mengalami koreksi dari 1-17 Mei 2019 hingga menyentuh level 5.826.
Alfred menuturkan penguatan yang terjadi menjelang libur panjang ini disebabkan katalis positif dari membaiknya faktor stabilitas dalam negeri. Kondisi itu juga mendorong nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat ke bawah Rp14.400 dari level tertingginya Rp15.513.
Baca Juga
Pada akhir pekan ini, imbuhnya, kembali muncul wacana peluang bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), untuk menurunkan suku bunga. Langkah itu untuk mengantisipasi perlambatan ekonomi dari dampak perang dagang yang kembali memanas.
"Penguatan IHSG ini [ke level 6.160] masih wajar karena adanya sentimen perbaikan kondisi stabilitas dalam negeri dan posisi rupiah yang berada di bawah Rp14.400,” ujar Alfred kepada Bisnis, Jumat (31/5/2019).
Secara terpisah, Senior Vice President Royal Investium Sekuritas Janson Nasrial menuturkan secara historikal, IHSG justru lebih banyak mengalami koreksi menjelang Hari Raya. Tetapi, dia memandang kemungkinan besar valuasi yang dimiliki IHSG sudah cukup wajar.
“Namun, meski menguat sore ini, apabila IHSG ditutup di bawah 6.200, IHSG akan melemah kembali idealnya ke 5.900-5.800 karena isu perang dagang China dan AS semakin tinggi tensinya,” imbuh Janson.