Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan penerbangan pelat merah, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. menggelar rapat umum pemegang saham tahunan di Jakarta pada Rabu (24/4/2019). Namun, rapat tersebut terasa sedikit berbeda dibandingkan dengan rapat-rapat lainnya.
Pasalnya, rapat yang digelar perseroan tersebut tidak seperti perusahaan-perusahaan yang meraih kinerja positif dalam setahun penuh. Perbedaannya adalah, sebagai perusahaan yang berhasil membalikan keadaan rugi menjadi laba, sikap emiten berkode saham GIAA tersebut sangat tertutup kepada awak media yang hadir, terutama terkait dengan hasil kinerja 2018.
Berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit oleh Kantor Akutan Publik Independen Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang dan rekan, GIAA berbalik untung US$809,846 pada 2018. Posisi tersebut berbalik dari kerugian US$216,58 juta pada 2017.
Padahal, pada periode September 2018, perseroan masih mencatatkan rugi yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar US$114,08 juta.
Kontribusi terbesar atas laba GIAA pada 2018 berasal atas pendapatan lain-lain perseroan yang berbanding jauh pada tahun sebelumnya yakni US$19,79 juta.
Pendapatan tersebut berasal dari hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat dan manajamen konten antara PT Mahata Aero Teknologi dengan PT Citilink Indonesia yang merupakan entitas anak Garuda Indonesia.
Adapun transaksi tersebut senilai US$239.94 juta yang di antaranya senilai US$28 juta merupakan bagi hasil perseroan yang didapat dari PT Sriwijaya Air.
Pada akhirnya, laporan keuangan 2018 tersebut memang disetujui oleh para pemegang saham dalam RUPST, namun dengan catatan dua dessenting opinion dari dua komisaris perseroan.
Kedua komisaris yang memberikan catatan dessenting opinion itu ialah Chairal Tanjung dan Dony Oskaria yang tak lain adalah Komisaris perseroan yang merupakan wakil dari PT Trans Airways dan Finegold Resources Ltd selaku pemegang 28,08% saham di GIAA.
Ditemui usai rapat, Chairal mengungkapkan bahwa keberatannya akan laporan keuangan tersebut karena perjanjian antara Mahata dan Citilink tidak dapat diakui dalam tahun buku 2018.
Pasalnya, perjanjian Mahata yang ditandatangani pada 31 Oktober 2018 tersebut, hingga tahun buku berakhir, bahkan hingga 2 April 2019 saat surat keberatan yang dilayangkan, perseroan tidak menerima satu pembayaran yang telah dilakukan oleh pihak Mahata meskipun telah terpasang satu unit alat di Citilink.
“Tadi di rapat kami minta untuk dibacakan, tapi menurut pimpinan rapat, itu tidak perlu dibacakan karena sudah terwakili dalam laporan komisaris dan sudah dilekatkan dalam annual report Garuda,” ujarnya usai rapat, Rabu (24/4/2019).
Menurutnya, terjadi suatu kesalahan akutansi dalam memasukan transaksi tersebut ke dalam laporan tahun buku 2018.
“Kami tidak sependapat dengan perlakuan akutansi yang diterapkan,” ungkapnya.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei, dan Konsultan Kementerian BUMN Gatot Trihargo tidak banyak berkomentar saat ditemui awak media.
Gatot langsung berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan Hotel Pullman tenpa rapat diadakan, tanpa banyak menjawab pertanyaan awak media terkait dengan hasil laporan keuangan GIAA 2018.
“Tanya sama direksi, kan kami sama-sami pemegang saham,” ujarnya menjawab laporan keuangan yang tidak disetujui dua komisaris.
Namun, setelah rapat selesai, tidak ada satu perwakilan direksi yang berhasil ditemui oleh awak media. Menjelang rapat tersebut selesai, jalan yang menjadi akses para direksi keluar ruang rapat tersebut dijaga dengan ketat oleh pihak keamanan.