Bisnis.com, JAKARTA — Hampir seluruh produk reksa dana indeks dan ETF mencatatkan kinerja yang positif sepanjang tahun berjalan 2019. Namun demikian, hanya sedikit yang mampu melampaui kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG).
Berdasarkan data Infovesta Utama per 13 Februari 2019, hanya ada 3 produk reksa dana indeks dan ETF yang mencatatkan kinerja outperform dibandingkan dengan IHSG. Adapun, kinerja IHSG secara year-to-date (ytd) hingga 13 Februari 2018 tercatat 3,62%. Sementara itu, sebagian besar produk reksa dana indeks dan ETF mencatatkan return sekitar 0,28% hingga 8,15%.
Dari sekian banyak produk, hanya produk besutan PT Indo Premier Investment Management, yakni RD Premier ETF Indonesia State-Owned Companies, Premier ETF SMINFRA18, dan Premier ETF Pefindo I Grade yang berkinerja di atas IHSG, masing-masing dengan capaian return 8,15%, 5,28%, dan 4,20%.
Produk dengan kinerja paling anjlok dan satu-satunya mencatatkan imbal hasil negatif adalah Ekuator IDX High Dividend 20 Index yang memiliki kinerja -4,28% sepanjang tahun berjalan.
Selanjutnya, posisi kedua dan ketiga dari bawah ditempati oleh Premier ETF IDX High Dividend 20 dan Pinnacle Enhanced Liquid ETF yang mencatatkan kinerja 0,28% dan 0,35%. Sementara itu, dana kelolaan reksa dana indeks dan ETF per 13 Februari 2018 tercatat Rp17,72 triliun yang berasal dari 54 produk.
Direktur Pinnacle Investment Indra Muharam menilai, prospek kinerja reksa dana indeks dan ETF untuk meningkat ke depannya masih terbuka lebar. Menurut Indra, tiga produk reksa dana indeks dan ETF yang outperform dari kinerja IHSG tadi memang ditopang oleh performa saham yang ada dalam indeks benchmark-nya yang sedang menguat.
Baca Juga
“Kalau yang memakai SMINFRA kan hanya fokus ke [saham-saham] SMINFRA, yang memang dari awal tahun menguat sampai sekarang. Seperti Waskita, Wika, dan Waskita Beton itu kan semua perform,” katanya saat dihubungi Bisnis akhir pekan lalu.
Begitu pula reksa dana indeks dan ETF yang berbasis saham-saham milik BUMN juga ditopang oleh performa emiten BUMN yang masih menguat sejak awal tahun.
Namun demikian, Indra menambahkan, untuk produk reksa dana indeks dan ETF yang berbasis indeks lain, seperti indeks LQ45 dan IDX30, dinilainya wajar tidak dapat mengungguli IHSG.
Pasalnya, indeks LQ45 dan IDX30 sendiri performanya pada periode yang sama berada di bawah IHSG. Secara ytd per 13 Februari 2019, kinerja indeks LQ45 tercatat 2,01% dan IDX30 sebesar 1,42%, sementara IHSG berada di posisi 3,62%.
Indra melanjutkan, jenis produk reksa dana indeks dan ETF yang banyak bermain di saham-saham berkapitalisasi besar (big caps) memang cenderung mengikuti pergerakan benchmark-nya, yang mana sejauh ini memang masih kurang perform.
Namun demikian, dirinya tetap optimistis bahwa jenis reksa dana indeks dan ETF ke depannya akan lebih baik, mengingat sebagian besar performa produk reksa dana yang tidak dapat ditebak “Sedangkan ETF itu jauh lebih konsisten return-nya dan transparansinya lebih terbuka dibandingkan jenis lain,” imbuhnya.
Indra pun menyarankan agar investor yang fokus ke broad market bisa masuk ke produk Pinneacle FTSE Indonesia Index. Dia meyakinkan, performa produk tersebut akan sangat mereplikasi kinerja IHSG.
Senada, Head Investment Avrist Asset Management Farash Farich mengungkapkan bahwa reksa dana indeks dan ETF masih menarik untuk investasi jangka panjang. Adapun, kinerja produk reksa dana tersebut ke depannya tetap akan sejalan dengan masing-masing indeks acuannya, seperti indeks LQ45 maupun IDX30. “Tetap menarik untuk investasi jangka panjang dengan potensi return lebih tinggi dari reksa dana pendapatan tetap dan reksa dana pasar uang,” katanya.
Selain itu, secara valuasi indeks saham saat ini dinilai masih cukup menarik karena berada di bawah nilai wajarnya akibat koreksi sepekan terakhir.
Namun demikian, dia mengingatkan bahwa pelemahan mata uang di negara pasar berkembang (emerging market) dan penguatan indeks dolar AS baru-baru ini bisa tampil sebagai risiko.
Reza Priyambada, Senior Analyst CSA Research Institute mengungkapkan, pekan ini IHSG bisa kembali membaik apabila pelaku pasar telah lebih realistis. “Atau bisa juga kembali konsolidasi di mana sesekali akan diselingi pelemahan yang diharapkan terbatas,” ujarnya.
Menurutnya, pelemahan tersebut kemungkinan bisa terjadi jika pelaku pasar mengasumsikan penguatan IHSG telah berlangsung sejak akhir Desember 2018. Dengan demikian, wajar bila IHSG membutuhkan ruang untuk konsolidasi terlebih dahulu.