Bisnis.com, JAKARTA — Lisensi Vale SA untuk mengoperasikan bendungan di salah satu pertambangan terbesarnya dicabut oleh pemerintah Brazil, menambahkan hambatan bagi raja bijih besi tersebut untuk kembali normal.
Manajer Aset NcH Capital Rio de Janeiro James Gulbrandsen mengatakan, pasar bijih besi tengah mengalami gejolak dengan beberapa sentimen.
“Di tengah data China yang buruk, pertumbuhan global yang melambat, sekarang pemberhentian operasional bendungan di salah satu tambang terbesar semakin membayangi bijih besi,” ujar James seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (7/2/2019).
Sebelumnya, penambang bahan baku baja terbesar di dunia, Vale SA, telah menyatakan force majeure untuk beberapa kontraknya setelah pengadilan memaksa memberhentikan sementara beberapa operasi di pertambangan Brucutu, yang dinilai akan menurunkan produksi tahunan hingga 30 juta metrik ton.
“Pengoperasian kembali tambang Brucutu sekarang bersyarat, bergantung kepada pembatalan perintah pengadilan dan pemulihan kembali dari lisensi bendungan,” tulis Vale dalam keterangan resminya, seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (7/2/2019).
Prospek perusahaan tambang yang berbasis di Rio de Janeiro meredup setelah kecelakaan fatal pada Januari lalu yang menewaskan sedikitnya 150 orang dan mengetatkan pengawasan pertambangan oleh pemerintah.
Baca Juga
Pencabutan izin bendungan melemahkan optimisme pasar bahwa operasional bendungan dapat kembali normal.
Sebelum melakukan force majeure, Vale SA telah memangkas produksi sebanyak 40 juta ton sebagai bagian dari rencana untuk meningkatkan keselematan dengan menonaktifkan bendungan lain akibat dua bendungan lain miliknya yang juga sempat jebol dalam beberapa tahun terakhir.
Selain itu, Vale juga berencana akan memangkas produksi pertambangan lain untuk mengimbangi kerugian yang dialami Vale akibat kecelakaan tersebut.
Analis Indutri Senior Bloomberg Inteligence Andrew Cosgrove mengatakan pencabutan izin penambangan Vale untuk tambang Brucutu kemungkinan akan memperpanjang waktu tekanan pasokan untuk bijih besi.
Dia melihat terdapat kemiripan kasus kejadian pencabutan lisensi penambangan di Brucutu seperti penjernihan aluminium milik Alunorte yang juga dicabut akibat membuat emisi air yang tidak diolah tanpa izin selama hujan lebat pada Februari 2018.
“Tampaknya tidak ada dasar teknis dan penilaian risiko terhadap skorsing yang diberikan kepada kedua perusahaan,” ujar Andrew.
Sementara Alunorte menggunakan pemutusan kerja sebagai upaya menanggulangi penutupan secara penuh, Vale tampaknya tidak bisa melakukan hal yang sama karena belum lama ini perusahaan telah merubah skema penambangan dengan truk otomatis.
Ketidakmampuan Vale untuk memenuhi kontrak pasokannya dapat memicu perebutan bahan baku materi di pasar yang telah terhuyung-huyung akibat pemangkasan produksi yang telah dilakukan sebelum kecelakaan terjadi.
Harga bjih besi berada di level tertinggi hampir dua tahun karena investor menimbang meningkatnya krisis pada produsen terbesar Vale SA, dengan spekulasi hal tersebut dapat merangsang penambang lain akan meningkatkan produksi untuk menyeimbangkan kekhawatiran pasar global menghadapi kehilangan pasokan yang substansial.
Namun, jumlah produksi yang hilang tidak sepenuhnya jelas karena Vale masih mengupayakan untuk mengimbangi pasokan dengan meningkatkan produksi dari tambang lain.
Mengutip riset Goldman Sachs Group, pihaknya mengharapkan penambang terkemuka lainnya juga akan berupaya untuk meningkatkannya produksi.
“Setiap reli harga yang berkelanjutan cenderung memicu jumlah pasokan, memberikan jalan bagi harga bijih besi untuk mengakhiri tahun di level lebih rendah dari level saat ini," tulis Goldman.
Goldman memprediksi bijih besi akan menyentuh US$80 per ton dalam 3 bulan ke depan, sebesar US$70 per ton dalam 6 bulan ke depan, dan sebesar US$65 per ton dalam 12 bulan ke depan.
Berdasarkan data Bloomberg, harga bijih besi pada perdagangan Kamis (7/2/2019), melanjutkan reli penguatannya dengan menguat 0,9% menjadi US$87,23 per ton.