Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah Brent anjlok ke bawah level US$55 per barel pada akhir perdagangan Kamis (20/12/2018), untuk pertama kalinya dalam lebih dari setahun di tengah kekhawatiran ekonomi global.
Harga minyak Brent untuk pengiriman Februari 2019 berakhir anjlok US$2,89 di level US$54,35 per barel di ICE Futures Europe exchange di London. Minyak mentah acuan global ini diperdagangkan premium US$8,54 terhadap minyak WTI.
Adapun harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak Februari ditutup anjlok 2,29% di level US$45,88 per barel di New York Mercantile Exchange.
Seperti diberitakan Bloomberg, minyak mentah terseret pergolakan yang melanda pasar ekuitas global setelah Federal Reserve Amerika Serikat (AS) menaikkan suku bunga acuannya pada Rabu (19/12).
Sentimen pasar diperburuk oleh kabar bahwa Presiden AS Donald Trump menolak untuk menandatangani RUU yang bertujuan untuk menghindari penghentian layanan pemerintah (government shutdown).
Minyak mentah pun bergerak menuju penurunan kuartalan terburuknya dalam empat tahun terlepas dari komitmen OPEC, Rusia, dan negara sekutu lainnya untuk memangkas produksi.
Upaya ini dikacaukan oleh kekhawatiran tentang melonjaknya pasokan minyak shale AS. Pada saat yang sama, investor global terus dilanda kekhawatiran mengenai prospek kenaikan suku bunga The Fed.
“Minyak kemungkinan akan turun lebih jauh setelah 'kesalahan yang membawa petaka' oleh The Fed,” kata Jay Hatfield, yang mengelola investasi senilai US$750 juta di Infrastructure Capital Management LLC, di New York.
“Jika pasar jatuh, biasanya itu akan membawa minyak turun juga karena pasar mengkhawatirkan tentang pertumbuhan.”
The Fed mengerek suku bunga acuannya (Fed Funds Rate/FFR) sebesar 25 basis poin (bps) ke kisaran 2,25%-2,50% dalam pertemuan kebijakan monter yang berakhir Rabu (19/12). Akan tetapi, bank sentral AS tersebut juga memproyeksikan dua kali penaikan suku bunga pada 2019 dan satu kali penaikan pada 2020.
OPEC dan sekutu-sekutunya berupaya meningkatkan optimisme pasar pada hari Kamis (20/12), dengan memberikan lebih banyak perincian tentang bagaimana para eksportir utama berencana memangkas 1,2 juta barel dalam produksi harian.
Sehari sebelumnya, Menteri Energi Saudi Khalid Al-Falih mengatakan bahwa penurunan harga saat ini tidak didasarkan pada pasokan dan permintaan minyak, tetapi sebagian berasal dari faktor-faktor termasuk geopolitik, suku bunga AS, kekuatan dolar AS, dan spekulasi investor.
Namun, ia menambahkan bahwa OPEC akan membutuhkan lebih banyak waktu untuk pembatasan produksi guna menyeimbangkan pasar.
“Ketika saya melihat di seluruh dunia ada banyak minyak mentah di luar sana,” kata Andy Lipow, presiden perusahaan konsultan Lipow Oil Associates LLC.
“Ada lebih dari cukup pasokan bensin dan dengan dimulainya kapasitas pengilangan baru di Asia, surplus minyak mentah dapat dengan mudah diubah menjadi surplus produk olahan yang terus menekan harga.”