Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

LPE Belum Dorong Praktik Short Selling

Fasilitas pendanaan yang diberikan oleh self regulatory organization (SRO) melalui Lembaga Pendanaan Efek (LPE) diyakini masih belum mampu mendorong maraknya transaksi short selling di pasar modal.
Karyawan beraktivitas di samping papan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Jakarta, Rabu (12/12/2018)./JIBI-Felix Jody Kinarwan
Karyawan beraktivitas di samping papan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Jakarta, Rabu (12/12/2018)./JIBI-Felix Jody Kinarwan

Bisnis.com, JAKARTA — Fasilitas pendanaan yang diberikan oleh self regulatory organization (SRO) melalui Lembaga Pendanaan Efek (LPE) diyakini masih belum mampu mendorong maraknya transaksi short selling di pasar modal.

Pada 10 Desember lalu, Otoritas Jasa Keuangan telah mengundangkan POJK No. 25/POJK.04/2018 tentang Lembaga Pendanaan Efek. LPE bertugas memberikan pinjaman kepada perusahaan efek untuk kebutuhan transaksi margin dan short selling untuk meningkatkan transaksi dan likuiditas.

Kepala Riset MNC Sekuritas Edwin Sebayang menilai, adanya fasilitas ini masih belum mampu mendorong investor atau perusahaan efek untuk menggeliatkanshort selling. Sebab, selama ini minat terhadap transaksi jenis ini memang sepi.

Dia menjelaskan bahwa dalam praktiknya, short selling bertujuan untuk meminimalisasi volatilitas pasar saham jika terjadi guncangan. Di sisi lain, karakteristik investor saham di Tanah Air cukup unik, yakni lebih menggemari kondisi pasar yang fluktuatif.

"Kalau untuk short selling belum akan berdampak besar karena memang sejauh ini minatnya sepi. Investor kita banyak yang trader jadi mereka tidak suka kondisi yang kurang seksi," jelasnya saat dihubungi Bisnis, Senin (17/12).

Dia menambahkan, short selling memang memiliki keuntungan dan kelebihan. Selain bisa menahan jatuhnya pasar saham saat terjadi guncangan, short selling juga bisa menyebabkan kejatuhan pasar jika dilakukan secara besar-besaran.

Risiko lain adalah kerugian akibat harga saham yang dijadikan objek short sellingbergerak di luar prediksi. Jika harga saham tersebut naik, investor harus menunggu saham turun agar bisa menebus dengan profit.

Jika investor tidak bisa menebus sampai batas waktu yang ditentukan, akan berpotensi terkena force sell alias jual paksa. Inilah yang menyebabkan transaksi jenis ini masih cukup sepi di pasar modal Tanah Air.

Adapun, mengenai transaksi margin, Edwin menilai hal itu akan diuntungkan dengan keberadaan LPE tersebut. Sebab, selama ini transaksi margin telah banyak dimanfaatkan oleh investor, hanya saja ada kendala dari sisi pendanaan.

Menurutnya, transaksi margin biasanya cukup ramai terjadi saat pasar sedang dalam tren positif dengan harapan mampu mendapatkan keuntungan lebih besar. Namun saat indeks harga saham gabungan (IHSG) turun, transaksi margin akan sepi.

"Kalau untuk transaksi margin fasilitas pendanaan ini malah akan terpakai. Akan banyak dimanfaatkan oleh perusahaan efek terutama saat market sedang bagus," ujarnya.

Senior Analyst CSA Research Institute Reza Priyambada menambahkan, yang harus menjadi fokus otoritas dalam praktik transaksi margin dan short selling adalah dari sisi pengawasan. Terutama pengawasan kepada perusahaan sekuritas.

Menurutnya, ada celah bagi perusahaan efek untuk melakukan kesalahan, yakni dengan menyediakan fasilitas transaksi margin atau short selling terhadap saham yang tidak terdaftar dalam cakupan kedua transaksi tersebut.

"Ini kan arahnya untuk meningkatkan volume dan nilai transaksi. Perusahaan efek bisa saja memberikan saham yang tidak termasuk transaksi marjin atau short selling dengan tujuan meningkatkan transaksi," jelasnya.

Selain itu, OJK dan BEI juga harus menyaring dengan ketat investor atau nasabah perusahaan efek yang bisa memanfaatkan fasilitas pinjama itu. Dengan demikian, gearing ratio LPE masih sehat. Sebab, LPE wajib memelihara gearing ratio paling tinggi 10 kali.

"Aturan itu sudah ada ketentuan mengenai perjanjian antara nasabah yang bisa menikmati pinjaman. Itu harus dikuatkan dari sisi pengawasan," ujarnya.

Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi menambahkan, kebutuhan LPE terhadap transaksi margin ini cukup besar. Hasan memperkirakan, kebutuhan modal awal diperkirakan senilai Rp1 triliun. Untuk itu, SRO berkomitmen untuk terus memberikan modal sehingga pada awal tahun depan diperkirakan PEI memiliki modal senilai Rp500 miliar. Adapun kebutuhan Rp500 miliar lainnya akan dicarikan dari pinjaman.

"Kami harapkan dapat menerima pinjaman dari pihak ketiga. Ini bisa perbankan atau multifinance yang bersedia karena kebutuhan untuk transaksi marjin sangat besar," ujarnya.
 
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Tegar Arief
Editor : Riendy Astria

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper