Bisnis.com, JAKARTA – Harga paladium rebound setelah menyentuh level terendah dalam 8 bulan di tengah kekhawatiran terganggunya pasokan akibat sanksi yang dikenakan Amerika Serikat terhadap Rusia, sebagai produsen paladium terbesar di dunia.
Berdasarkan data Bloomberg, harga paladium pada perdagangan Selasa (10/4/2018) pukul 16.00 WIB kontrak teraktif Juni 2018 di bursa Comex menguat 4,25 poin atau 0,46% menjadi US$935,60 per troy ounce, kenaikan terbesar untuk kontrak paling aktif dalam 7 bulan.
Harga tersebut juga menunjukan rebound dari level terendah sejak Agustus 2017 yang dicapai pada 6 April 2018 di US$905,35 per troy ounce. Namun, sepanjang tahun berjalan, harga melemah hingga 11,76%.
Tahun lalu, paladium telah tumbuh hingga 56% dan menjadi komoditas logam mulia dengan kinerja terbaik, seiring dengan kekhawatiran investor terhadap kekurangan persediaan akibat permintaan dari industri mobil yang terus tumbuh, terutama di China.
Dilansir dari Bloomberg, harga paladium rebound dari level terendahnya di tengah kekhawatiran bahwa pasokan kemungkinan akan terganggu setelah Amerika Serikat memberlakukan sanksi terhadap oligarki Rusia, termasuk Oleg Vladimirovich Deripaska dan perusahaannya United Co. Rusal.
Rusal merupakan produsen aluminium terbesar di luar China yang juga mengendalikan sekitar 28% dari Norilsk Nickel yang mengoperasikan beberapa tambang terkaya, termasuk paladium.
Adapun Rusia merupakan produsen paladium terbesar di dunia yang digunakan untuk mengekang polusi dari mesin berbahan bakar bensin.“Pasar logam jauh lebih prihatin karena sanksi [AS terhadap Rusia] bisa mengakibatkan gangguan pada pasokan,” kara analis Commerzbank AG Daniel Briesemann dan sebuah catatan pada Senin (9/4), seperti dilansir dari Bloomberg.
“Biaya kemungkinan akan meningkat secara signifikan,” tambahnya.
“Pedagang tampaknya menetapkan harga pada premi risiko [risk premium] di tengah kekhawatiran bahwa pasokan paladium dari Rusia bisa dibatasi,” ujar Bark Melek, kepala strategi komoditas global di TD Securities.