Bisnis.com, JAKARTA - Untuk mampu bertahan melewati krisis, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. menilai bank harus memiliki modal yang kuat dan mampu berinovasi menghadapi kecanggihan teknologi.
Direktur Strategi Bisnis dan Keuangan Bank Rakyat Indonesia Haru Koesmahargyo mengatakan pada 2013 kinerja perbankan sangat prima, tetapi pada 2015-2016 laba perbankan sempat negatif. Dia menceritakan, pada 2015-2016 telah terjadi dinamika perbankan dan perubahan persaingan perbankan.
Menurutnya, hal tersebut merupakan dampak dari krisis subprime mortgage di Amerika terasa setelah 2 tahun kemudian di Indonesia. Namun, saat ini kemampuan bank untuk menghadapi krisis sudah tak perlu diragukan karena rasio permodalan sudah sangat tinggi.
"Kami adalah bank dengan aset paling besar dan jangka panjang kami ingin memiliki kapitalisasi pasar paling tinggi nomor 1 pada 2022," ungkapnya dalam Seminar Tantangan & Strategi Perusahaan Go Public Menghadapi Distruption & Tahun Politik di Gedung BEI, Kamis (25/1/2018)
Haru mengatakan, ada dinamika persaingan yang tak terduga, sebab saat ini persaingan bank bukan hanya bank, akan tetapi fintech juga menjadi persaingan bank. Sebab, fintech memilik kemampuan inovasi dalam teknologi.
Namun kekurangan yang dimiliki fintech, kata Haru, fintech tidak memperoleh kepercayaan dari masyarakat untuk menyimpan uang, sedangkan perbankan memperoleh kepercayaan yang besar dari masyarakat untuk menyimpang uang.
Untuk melawan persaingan dari fintech, emiten bersandi saham BBRI ini juga membuka BRI Digital Challenge, menghadirkan co-working space dan mengakuisisi perusahaan ventura. Di sisi lain, BBRI juga memberikan pinjaman kepada fintech dan juga membangun fintech sesuai dengan kebutuhan bank.
Haru mengatakan, untuk bertahan menghadapi persaingan maka diperlukan rasio kecukupan modal yang kuat. Adapun rasio kecukupan modal Bank Rakyat Indonesia per Desember 2017 mencapai 22,9%.
Selain itu, ungkap Haru, perbankan juga harus cekatan dalam melakukan tranformasi dan berinovasi khususnya dari sisi teknologi.