Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak berakhir melemah pada pekan yang berakhir pada 19 Januari 2018 sekaligus memotong kenaikan 4 minggu beruntun mencapai level tertinggi 3 tahun karena investor khawatir terhadap pertumbuhan produksi AS yang kembali muncul.
Pada penutupan perdagangan Jumat (19/1/2018) harga minyak Brent turun 70 poin atau 1% menjadi US$68,61 per barel di ICE Futures Europe yang berbasis di London setelah mencapai level terendah di US$68,28 per barel pada sesi sebelumnya.
Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) turun 58 poin atau 0,9% menuju US$63,37 per barel di New York Merchantile Exchange.
Pada awal pekan, WTI mencapai level tertinggi sejak Desember 2014 di US$64,89 per barel pada Selasa (16/1). Harga minyak Brent juga sempat mencapai level tertinggi sebesar US$70,37 per barel pada Senin (15/1). Sepanjang tahun, harga minyak WTI menguat 5,10%, sementara harga minyak Brent tumbuh 2,93%.
Phil Flynn, analis energi dari Price Futures Group di Chicago menuturkan bahwa harga yang melaju kencang baru—baru ini wajar jika mengalami koreksi.
“Kami mengalami kenaikan harga yang sangat cepat di pasar minyak baru—baru ini dan kami terlalu banyak mengalami overbought,” kata Phil Flynn.
Harga minyak mentah telah mengalami kenaikan yang cukup tinggi dan mencapai level tertentu sehingga mengakibatkan kondisi jenuh beli atau overbought, sehingga harga mengalami tekanan.
The International Energy Agency (IEA) mengatakan dalam laporan bulanannya bahwa stok minyak global telah diperketat secara substansial, dibantu oleh penurunan produksi oleh OPEC, juga pertumbuhan permintaan dan produksi Venezuela yang mencapai posisi terendah 30 tahun.
Namun, badan energi internasional tersebut memperingatkan bahwa produksi yang meningkat dengan cepat di Amerika Serikat dapat mengancam keseimbangan pasar.
“Pertumbuhan eksplosif di AS dan kenaikan substansial di Kanada dan Brasil akan jauh lebih besar daripada penurunan tajam yang berpotensi terjadi di Venezuela dan Meksiko,” ungkap IEA.
IEA memperkirakan pertumbuhan pasokan AS akan mendorong outputnya melewati 10 juta bph, mengejar produsen papan atas Arab Saudi dan menandingi Rusia. Artinya, AS terus mendorong pelemahan harga minyak mentah global dengan terus meningkatkan produksinya.
Menurut data Energy Information Administration (EIA) yang terbaru, produksi minyak mentah AS telah naik hampir 258.000 bph menjadi 9,75 juta dan ekspor naik sebesar 234.000 bph menjadi 1,25 juta pada pekan lalu.
Menurut data dari Baker Hughes Inc, jumlah rig minyak AS, sebuah indikator produksi masa depan telah turun lima rig pada pekan ini menjadi 747, namun angka ini masih lebih tinggi daripada jumlah rig pada tahun lalu sebanyak 551.
Menteri Energi Saudi Khalid Al—Falih mengatakan, pasar minyak mentah akan mencapai tingkat normal pada 2018 dan meminta kepada seluruh menteri perminyakan untuk tidak membatasi usaha mereka sampai tahun ini.
“Para menteri perlu mengidentifikasi tingkat persediaan normal dengan lebih jelas sebelum pertemuan OPEC pada Juni mendatang di tengah asumsi bahwa pasar tidak akan re-balance pada paruh pertama tahun ini,” ungkap Al—Falih dalam acara pertemuan sejumlah menteri OPEC dan sekutunya di Muscat, seperti dilansir dari Reuters, Minggu (21/1).
Negara—negara yang berpartisipasi dalam kesepakatan output telah memiliki tingkat kepatuhan sebesar 129% pada bulan Desember dan 107% untuk keseluruhan 2017.
Artinya, meningkatnya kepatuhan anggota OPEC dan sekutunya berpotensi untuk terus mendorong peningkatan harga.
Berdasarkan pertemuan tersebut, diperkirakan pasar minyak akan kembali seimbang pada kuartal III/2018 paling cepat jika OPEC dan sekutu—sekutunya tetap mematuhi sepenuhnya pemotongan mereka.