Bisnis.com, JAKARTA–Citigroup Inc, sebuah perusahaan layanan keuangan global, mengatakan bahwa Presiden AS Donald Trump dan risiko peperangan bisa membantu menggerakkan harga minyak hingga mencapai US$80 per barel.
Dilansir dari Bloomberg, Citigroup memprediksi adanya potensi kenaikan harga minyak hingga US$80 per barel seiring dengan sentimen dari adanya perang, ketegangan Timur Tengah, tindakan Trump serta Kim Jong Un.
“Setelah harga didorong oleh hambatan produksi OPEC di 2017, Trump telah mengalihkan fokusnya pada risiko geopolitik dengan adanya sanksi terhadap Iran dan Korea Utara yang berpotensi menimbulkan konsekuensi yang signifikan,” ungkap Citigroup.
Selain itu, dalam laporannya, Citigroup menuturkan bahwa gangguan politik di beberapa anggota OPEC seperti Irak, Libya, Nigeria, dan Venezuela telah menurunkan pasokan minyak dunia lebih dari 3 juta barel per hari (bpd) pada tahun ini. Hal ini berpotensi meningatkan minyak ke kisaran US$70—US$80 per barel.
“Banyak dari ketidakpastian ini memiliki konsekuensi signifikan bagi komoditas,” Ed Morse, analis Citigroup mengatakan dalam laporan bertajuk “Wildcards for 2018; Trump tampak besar bersamaan dengan risiko sistemik”.
“Tidak heran jika daftar acara wildcards kami di tahun depan tetap fokus di Amerika Serikat,” lanjutnya.
Citigroup menambahkan, risiko sistemik yang paling luas terhadap komoditas pada tahun ini dipengaruhi oleh Trump yang mengganggu tatanan dunia politik.
Sebagai contoh, sanksi AS terhadap Iran, produsen OPEC terbesar ketiga kemungkinan akan menghentikan 500.000 barel dari ekspor minyak negara Timur Tengah yang menghasilkan kenaikan harga US$5 per barel.
Sementara retorika dari dan ke Korea Utara juga meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini membawa risiko yang awalnya dapat diabaikan justru menjadi konflik militer.
“Penimbunan barang strategis seperti minyak mentah bisa berakselerasi dengan risiko perang,” tambahnya.