Bisnis.com, JAKARTA--Harga tembaga pada 2017 berpeluang menembus US$6.000 per ton seiring dengan proyeksi campuran antara pengetatan pasokan dan perkiraan pertumbuhan penambangan.
Pada perdagangan Rabu (11/1) pukul 18:58 WIB harga tembaga di bursa Comex untuk kontrak Maret 2017 turun 0,4 poin atau 0,15% menjadi US$260,85 per pon. Adapun harga tembaga di London Metal Exchange (LME) meningkat 167 poin atau 2,99% menuju US$5.758 per ton pada penutupan perdagangan Selasa (10/1).
Daniel Hynes, senior commodities strategist Australia and New Zealand (ANZ) Banking Group, menyampaikan sentimen tembaga cenderung mixed antara proyeksi penambahan pasokan dengan pengetatan suplai. Dalam waktu dekat, pasar tembaga menunggu proses negosiasi upah pekerja di Chili dan pengumuman kebijakan ekspor mineral di Indonesia.
Seperti diketahui, perubahan keempat Peraturan Pemerintah no.23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara rencananya akan keluar pada Rabu (11/1). Tanggal 11 Januari 2017 adalah hari terakhir pemerintah membolehkan perusahaan tambang melakukan ekspor mineral mentah, berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.1/2014.
Sementara pada Selasa (10/1), dalam manajemen BHP Billiton Ltd., di tambang Escondida, Chili, menolak tuntutan serikat pekerja yang meminta kenaikan gaji 7% dan bonus 25 juta peso (US$37.000). Serikat pekerja dijadwalkan memberikan proposal final pada 24 Januari.
Tuntutan pekerja berdasarkan pada lonjakan harga tembaga pada sebesar 25% sejak Oktober 2016 karena menyusutnya pasokan.
Berdasarkan data Bank Dunia, pada 2015 Chili merupakan produsen tembaga terbesar di dunia dengan produksi sejumlah 5,76 juta ton. Adapun Indonesia menjadi produsen ke-10 tertinggi dunia dengan suplai baru 580 ton.
"Dalam waktu dekat cenderung naik turun, apalagi menjelang libur Imlek. Jadi mungkin masih sulit untuk melihat tren ke depan," tuturnya seperti dikutip dari Bloomberg, Rabu (11/1/2017).
Naiknya harga tembaga memang menjadi tantangan pasar ke depan yang masih ragu dengan tingkat fundamental suplai dan permintaan. Di tengah sentimen yang masih mixed, Citigroup Inc., memprediksi harga tembaga dapat menembus US$6.000 per ton.
Terjadinya kenaikan harga disebabkan pertumbuhan pasokan yang masih melambat. Sekitar 3,5 juta ton kapasitas tambang atau 17% produksi global masih dalam proses perpanjangan kontrak tenaga kerja.
Pada 2016, harga tembaga meningkat 18% setelah mengalami penurunan dalam tiga tahun berturut-turut. Sentimen utama yang mendorong harga ialah proyeksi peningkatan belanja modal pembangunan infrastruktur di AS dan China.
Presiden AS Donald Trump berjanji mengalokasikan dana US$550 miliar dalam rencana lima tahun untuk membangun jalan, bandara, dan jembatan. Adapun Negeri Panda sudah menginvestasikan US$1,4 triliun dalam 10 bulan pertama 2016 untuk infrastruktur seperti jalan, rel kereta api, dan jaringan telekomunikasi.
Pada 2017, total produksi diperkirakan naik tipis 1% menjadi 20,1 juta ton. Tahun lalu, total suplai baru mencapai 19,9 juta ton, meningkat 3,8% dari 2015.