Bisnis.com, JAKARTA--Harga seng mendekati level tertinggi dalam delapan bulan terakhir seiring dengan meningkatnya harga rumah primer di China dan stok global yang menurun.
Pada penutupan perdagangan Jumat (15/4) harga tembaga di London Metal Exchange (LME) naik 0,32% menjadi US$1.872 per ton. Artinya, sepanjang tahun berjalan harga sudah menghijau sejumlah 19,39%.
Sebelumnya, pada 13 April 2016 harga naik ke US$1.887 yang menjadi level tertinggi sejak Agustus 2015. Saat itu, harga maningkat 20,34% sepanjang tahun berjalan.
Seng berhasil melakukan reli karena perekonomian China yang menunjukkan tanda-tanda stabil, termasuk perbaikan pasar properti. Biro statistik setempat melansir harga rumah primer atau rumah baru pada Maret naik di 62 dari 70 kota yang disurvei, meningkat dari bulan sebelumnya sebanyak 47 kota.
Persediaan global pun merosot yang mengindikasikan kemungkinan adanya defisit pada tahun ini. Stok seng di LME jatuh pada minggu kedelapan menjadi 415.100 ton pada Jumat (15/4) ke level terendah sejak 2009.
Citigroup Inc. dalam publikasi risetnya menyampaikan, seng menjadi satu-satunya logam dasar dengan kondisi fundamental yang berlawanan dengan makro ekonomi 2016. Di sisi lain, proyeksi defisit 125.000 ton di tahun ini dan bertumbuhnya permintaan bakal semakin mengerek harga.
Harga diprediksi naik 8,4% pada Tahun Monyet Api menjadi US$1.745 per ton. Namun, seng bisa saja mencapai US$1.900 per ton dalam paruh kedua 2016.
Laporan Departemen Industri Inovasi dan Sains Australia menyebutkan permintaan seng di negara berkembang bakal meningkat dalam jangka menengah. Namun, Negeri Kangguru dan negara produsen lain tidak akan sepenuhnya memanfaatkan kesempatan ini untuk memacu pasokan.
Rerata harga seng di LME pada 2015 senilai US$1.933 per ton atau 11% lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini terjadi karena adanya perlambatan permintaan.
Reli sempat terjadi pada April -- Oktober 2015 setelah Glencore sebagai produsen terbesar di dunia mengumumkan rencana penutupan sejumlah pabrik. Stok di LME pun menurun sebanyak 33% pada 2015 secara tahunan (y-o-y) menjadi 464.000 ton.
Sayangnya, seng termasuk komoditas yang terkena tren bearish di akhir tahun lalu, karena perlambatan penyerapan pasar, terutama dari China. Pada 2016, harga diperkirakan tetap stagnan pada semester pertama, kemudian pulih secara moderat menjelang kuartal terakhir.
Rerata harga pada 2016 diprediksi tergelincir 13% dibandingkan tahun sebelumnya, atau sebesar US$1.705 per ton. Nilai jual diperkirakan naik kembali pada 2017 menuju ke US$1.855 per ton.