Bisnis.com, JAKARTA--Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh pengemudi taksi konvensional beberapa waktu lalu menjadi buntut kemelut tata niaga kendaraan umum berkelas bagi konsumen. Lantas, siapakah yang bakal memenangkan hati para pelanggan?
Tak dapat dipungkiri, keberadaan aplikasi taksi online akan menekan kinerja perusahaan kendaraan umum sejenis yang telah beroperasi selama ini, seperti PT Blue Bird Tbk. (BIRD) dan PT Express Trasindo Utama Tbk. (TAXI).
Salah satu konsumen yang kini beralih menggunakan taksi online adalah Hendrizal Arif. Seorang karyawan swasta itu bisa jadi menjadi salah satu dari ribuan, bahkan jutaan pelanggan taksi konvensional yang mulai kepincut berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh taksi online.
Tak Gunakan Taksi Konvensional
Dia mengisahkan, bahwa beberapa waktu terakhir hampir dipastikan tidak menggunakan taksi konvensional sebagai alat transportasi. Menurutnya, lebih dari 40% menggunakan Uber, dan lebih dari 70% menggunakan Grab Taksi, dua layanan taksi online yang digemari masyarakat. Selain dari kondisi kendaraan yang jauh lebih baik, layanan aplikasi online juga dinilai lebih mudah digunakan.
"Sebagai konsumen dengan mobilitas tinggi, menunggu di jalanan yang enggak pasti itu sudah malas. Sekarang sudah malas pakai telepon-telepon, dengan pesan aplikasi online, hanya cukup 5-10 menit pasti datang," tuturnya saat berbincang dengan Bisnis.com.
Menggunakan aplikasi taksi daring, katanya, terdapat keuntungan lantaran memiliki asuransi serta lebih ekslusif. Tarif taksi online juga terbilang murah, tetapi kepastian yang diberikan oleh taksi daring menjadi pilihan paling menarik bagi konsumen.
Meski dari sisi tarif hanya lebih murah sekitar Rp10.000-Rp20.000, taksi online lebih dipilih karena memang lebih fleksible. Satu taksi online dapat digunakan oleh satu hingga dua penumpang dengan arah yang sama.
Pelanggan, katanya, mencari kendaraan umum yang mudah, murah, dan mengikuti kemauan. Semakin bagus pelayanan taksi, dipastikan akan kian diincar pelanggannya.
Dari sisi keamanan, konsumen tidak menilai sebagai sesuatu yang penting. Sebab, taksi konvensional juga tidak memberikan jaminan bila terjadi perampokan hingga kehilangan atau barang tertinggal.
Layanan bagi konsumen itu memang dibenarkan oleh Satrio Utomo, Kepala Riset PT Universal Broker Indonesia. Taksi online memiliki tarif yang lebih murah dengan rute yang lebih jelas, sehingga konsumen tidak berada dalam ketidakpastian.
"Kalau konsumen enggak tahu jalannya itu bisa bermasalah, taksi online tidak dipermainkan. Paling lemah, taksi online itu tidak tahu siapa yang konsumen dapatkan, konsumen enggak tahu orang baik atau jahat," katanya secara terpisah.
Menurutnya, konsumen hanya menginginkan tarif yang lebih murah ketimbang taksi konvensional. Masalahnya adalah, ketika taksi konvensional menaikkan harga saat bahan bakar minyak (BBM) melonjak, perusahaan tidak mau lagi menurunkan harga ketika harga BBM telah diturunkan.
"Taksi itu mengikuti pertumbuhan ekonomi, kalau sedang baik pasti akan naik taksi, karena dana banyak," tuturnya.
Konsumen menilai, margin perusahaan taksi itu sangat tinggi. Pelanggan juga merasa, sopir taksi hanya menjadi 'sapi perah' saja bagi perusahaan. Taksi online dinilai lebih memerdekakan para pengemudi yang disebut sebagai mitra bagi mereka.
Pendapatan Pengemudi Taksi Konvensional Ambrol
Memang, saat Bisnis.com berbincang dengan salah satu pengemudi Taksi Express berusia 51 tahun, Saheri, menegaskan pendapatan yang dikantonginya terus merosot. Duit yang berhasil dibawa pulang untuk menghidupi keluarganya berkurang signifikan.
Pendapatan setahun terakhir ini menjadi perolehan paling buruk selama 4 tahun dia bekerja sebagai driver taksi. Dia harus setor kepada perusahaan minimal Rp450.000 sehari dengan durasi bekerja 18 jam.
"Penumpang makin sepi, teman-teman malah sudah setor kunci. Sekarang sehari dapat Rp100.000-Rp150.000, bawa pulang Rp50.000 saja sudah gede banget," ucapnya.
Melorotnya pendapatan pengemudi taksi terjadi lantaran banyaknya penumpang yang beralih ke aplikasi taksi online Uber dan Grab. Dia memperkirakan, konsumen memilih taksi online karena memiliki tarif yang lebih murah dibandingkan dengan konvensional.
Pria yang memiliki tiga orang anak itu harus bekerja selama 20 hari setiap bulan. Meski terbilang lama bekerja sebagai pengemudi Taksi Express, Saheri kini tak lagi rajin pulang kampung ke Tegal akibat takut tak membawa cukup uang bagi keluarganya.
Kendati mengeluhkan pendapatan yang ambrol, dia mengaku tak ikut aksi unjuk rasa bersama pengemudi lain karena memang tengah berada di kampung. Tapi, dia memastikan tidak ada sanksi dari perusahaan bila pengemudi turut dalam aksi protes tersebut.
Perusahaan Taksi Konvensional Lepas Tangan
Aksi unjuk rasa yang terjadi pekan lalu ditegaskan oleh manajemen Blue Bird dan Taksi Express, bahwa tidak ada restu dari perusahaan. Kedua perusahaan taksi konvensional itu mengaku tidak bertanggung jawab dan lepas tangan atas insiden yang terjadi saat aksi unjuk rasa pengemudi memprotes keberadaan taksi online Uber dan Grab.
Lucky Bayu Purnomo, analis PT Danareksa Sekuritas, menilai emiten taksi harus berupaya untuk menjelaskan yang dilakukan saat memberikan layanan gratis bukanlah untuk pemulihan nama baik. Pasalnya, sehari setelah aksi unjuk rasa, manajemen Blue Bird memberikan layanan gratis selama 24 jam bagi konsumen mereka demi memulihkan nama baik yang terlanjur bernada miring di media sosial.
Seharusnya, perusahaan taksi melakukan perbaikan sistem dan pola bisnis ke depan. Selain memberikan inovasi, manajemen perusahaan taksi konvensional juga harus mampu beradaptasi dengan kondisi terkini dan keinginan konsumen.
"Kalau masalahnya teknologi, bisa membuat aplikasi baru. Tapi, apakah akan memberikan harga yang lebih kompetitif? Emiten harus menjelaskan aksi korporasi terhadap kemajuan tekno ke depan, bukan kepuasan pelanggan semata," paparnya saat dihubungi Bisnis.com.
Naik Taksi Gratis Jadi 'Obat Generik'
Aksi cuma-cuma seperti yang diumumkan oleh Komisaris Blue Bird Noni Sri Ayati beberapa waktu lalu dinilai hanya menjadi ‘obat generik’ bagi penurunan citra taksi konvensional. Sebaiknya, perusahaan taksi memberikan 'obat paten' misalnya adaptasi teknologi, hingga penurunan margin.
Pada prinsipnya, kata dia, taksi konvensional harus merogoh belanja modal (capital expenditure/Capex) yang terbilang besar. Taksi konvensional harus mendanai pembelian dan pemeliharaan kendaraan, sumber daya manusia, sampai dengan risiko pasar.
Seyogyanya, perusahaan taksi konvensional menyesuaikan postur bisnis dengan model yang lebih baik mengikuti perkembangan terkini. Misalnya, pembaruan armada, penyesuaian tarif, serta pelayanan yang lebih mudah bagi pelanggannya.
Secara obyektif, Blue Bird dan Express itu sudah rugi. Harus diakui, sebelum pengemudi menggelar aksi demo, dua emiten itu mengalami penurunan pendapatan.
Aksi unjuk rasa yang terjadi pekan lalu bukan merupakan demonstrasi akibat terjadi kerugian, tetapi penurunan pendapatan. Seharusnya, dua emiten taksi itu dapat bersikap cepat, sebelum keduanya mengalami kerugian.
"Ini adalah persoalan yang harus diterima, ini efek masyarakat ekonomi Asean (MEA), jangankan mobil, sekarang ada tukang sapu online, pembantu online, sulit bagi mereka yang tidak beradaptasi," jelasnya.
Taksi online dinilai lebih efisien lantaran tidak memiliki postur biaya hingga gaji pengemudi. Sehingga, tarif dasar yang dipatok dipastikan lebih murah, tak seperti Blue Bird Rp4.000 per kilometer, dan Express Rp3.000 per km.
Dia menilai, kelebihan taksi konvensional dapat ditemui di mana saja tanpa harus memiliki telepon pintar. Populasi taksi konvensional juga jauh lebih banyak ketimbang taksi online. Bahkan, dalam keadaan darurat, taksi konvensional lebih dapat digunakan ketimbang online yang harus memesan terlebih dahulu.
Terlebih lagi, katanya, taksi konvensionaltelah merambah ke berbagai daerah di Indonesia, sehingga menjadikan sebagai sebuah kekuatan untuk mampu merajai pangsa pasar. Dari keamanan, taksi konvensional memiliki rujukan bila terjadi insiden buruk.
Sementara, taksi online dinilai tidak di bawah naungan Organda dan aturan pemerintah. Sehingga, bila terjadi sesuatu, misalnya, perampokan, hingga tindakan di luar batas, konsumen tidak dapat mengadukan kepada otoritas transportasi pemerintah.
Kompetisi antara taksi konvensional melawan gegap gempita taksi online harus tetap mengutamakan konsumen. Siapa yang memberikan pelayanan sesuai keinginan pelanggan, dialah yang akan menjadi pemenangnya.