Bisnis.com, JAKARTA—Pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia diperkirakan dapat menguntungkan kinerja dua bank pelat merah, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, seiring dengan bakal melonjaknya margin bunga bersih (net interest margin/NIM) kedua bank itu.
Pemangkasan BI Rate, suku bunga fasilitas deposito, dan suku bunga lending facility pada Kamis (14/1) masing-masing sebesar 25 basis poin menjadi 7,25%, 5,25%, dan 7,75%, diperkirakan mendorong kinerja sektor perbankan.
Saham-saham perbankan pada saat rilis BI Rate oleh bank sentral, menjadi pendorong kembali menguatnya Indeks harga saham gabungan (IHSG), setelah investor dilanda panic selling lantaran guncangan bom di kawasan Jalan M.H. Thamrin Sarinah, Jakarta Pusat.
Akan tetapi, sehari berikutnya, saat IHSG rebound 0,24% ke level 4.523,98, saham-saham sektor keuangan justru terkoreksi 0,93%. Diperkirakan, investor melakukan profit taking setelah mendapatkan gain dari kenaikan sektor perbankan pasca-rilis penurunan BI Rate.
Analis PT CIMB Securities Indonesia, Jovent Giovanny dan Timothy Handerson, mempertahankan sektor perbankan pada level overweight setelah pelonggaran kebijakan moneter oleh BI dan peningkatan kualitas aset bank-bank di Indonesia.
Sementara itu, penurunan BI Rate diproyeksi tidak berpengaruh besar bagi industri perbankan secara mayoritas. Pasalnya, masing-masing perbankan memiliki aset dan profil kewajiban yang berbeda-beda.
"Kami yakin BBRI dan BBTN akan menjadi bank penerima manfaat terbesar dengan peningkatan NIM sekitar 10bps dan 6bps sejalan dengan penurunan BI Rate sebesar 25bps," ungkap mereka dalam riset baru-baru ini.
Mereka menyebutkan, sifat bunga tetap aset BBRI dan BBTN, terutama kredit mikro dan kredit pemilikan rumah (KPR), serta ketergantungan kedua emiten pelat merah itu dalam deposito terhadap rasio dana murah lebih rendah.
Rasio deposito terhadap dana murah (current account to saving account/CASA) kedua bank badan usaha milik negara (BUMN) tersebut lebih rendah dari 55% dan 47%. Sedangkan, PT Bank Central Asia Tbk. dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. masing-masing memiliki rasio CASA 77% dan 66%.
Pemotongan BI Rate setelah bertahan dalam 11 bulan dinilai sangat penting lantaran pemerintah membutuhkan kebijakan moneter yang lebih agresif. Pasalnya, hal itu dinilai agar menjadi stimulus bagi paket kebijakan ekonomi yang digalang pemerintah.
Pemangkasan suku bunga acuan itu ditengarai dapat menolong sektor perbankan di tengah ketatnya likuiditas di Tanah Air. Pemotongan suku bunga bakal diterjemahkan ke dalam suku bunga kredit dan deposito yang lebih rendah dari saat ini.
Saat ini, rasio kredit terhadap pendanaan (loan to deposit ratio/LDR) perbankan Indonesia rerata mencapai 90,5% pada November 2015. Rasio tersebut menjadi level tertinggi sejak awal tahun lalu.
Pada saat bersamaan, NIM sektor perbankan juga tinggi. NIM perbankan di Indonesia mencapai 5,3% pada November 2015, naik dari 4,2% dari Desember tahun sebelumnya, di tengah penurunan tajam suku bunga deposito.
Secara keseluruhan, tingkat penyaluran kredit turun 8bps pada periode yang sama. Sedangkan, terjadi peningkatan proporsi bagi deposito yang tidak dijamin.
Biasanya, deposito kurang dari Rp2 miliar mendapatkan tarif khusus untuk memperkuat dampak pemotongan BI Rate dengan rerata 225bps dan 200bps di atas BI Rate untuk bank umum kegiatan usaha (BUKU) III dan IV.
Secara terpisah, analis PT Mandiri Sekuritas Tjandra Lienandjaja, mengatakan penurunan BI Rate bakal berdampak terbatas bagi industri perbankan di Indonesia. Hal tersebut sudah diantisipasi perbankan karena bank-bank baru ini telah menyesuaikan cost of funds mereka, terutama suku bunga deposito berjangka rupiah, sejak awal tahun.
Dia menyebutkan, rerata suku bunga deposito berjangka 1 bulan di industri sudah turun dari 8,56% pada Desember 2014 menjadi 7,47% pada November 2015. Sedangkan, suku bunga masih tidak diubah.
Rerata modal kerja industri dan kredit investasi juga sudah diturunkan dari 12,79% dan 12,36% pada Desember 2014 menjadi 12,55% dan 12,14% pada November tahun lalu.
"Meskipun demikian, rerata kredit konsumsi naik 31bps menjadi 13,89% pada periode yang sama karena konsumen lebih sering menggunakan kartu kredit. Permintaan kredit yang lemah membuat suku bunga kredit turun," katanya dalam riset belum lama ini.
Sementara itu, katanya, yang lebih penting adalah menurunkan suku bunga. Dia memerkirakan bakal ada pemangkasan suku bunga lagi pada semester I/2016 oleh BI. Hal itu dipastikan akan memicu permintaan kredit pada semester II/2016.
Adapun, pertumbuhan kredit diproyeksi meningkat sekitar 11% dari tahun lalu, yang diprediksi membaik menjadi 12%-14% pada 2016 dengan prediksi pertumbuhan GDP Mandiri Sekuritas sebesar 5%.
Tidak hanya itu, Mansek juga mengantisipasi adanya perubahan yang tidak signifikan pada NIM perbankan, yang diprediksi mencapai 6,5% pada 2016. Potensi pemangkasan suku bunga kredit diprediksi akan berdampak pada pertumbuhan kredit yang tinggi, membuat margin yang stabil.
Pemangkasan suku bunga acuan diproyeksi bakal membuat kinerja perbankan yang memiliki porsi deposito berjangka lebih positif ke depannya, seperti BDMN, PNBN, BBTN, dan BTPN.
"Kami menetapkan kembali rekomendasi buy untuk BBRI dengan target price Rp11.500 dan BBNI dengan target price Rp5.900," tuturnya.
Alais PT UOB Kay Hian Securities Stevanus Juanda mengatakakan penurunan suku bunga acuan diproyeksi bakal dilanjutkan dengan pelonggaran kebijakan moneter, mengingat stabilitas ekonomi makro dan menurunnya ketidakpastian di pasar keuangan global pasca peningkatan suku bunga The Fed.
"Bank adalah penerima manfaat langsung dar penurunan BI Rate lantaran NIM bisa meningkat. Selanjutnya, pemangkasan BI Rate hingga di bawah 7% akan menguntungkan bagi penjualan mobil (ASII), dan sektor properti (CTRA, ASRI, SMRA, dll)," katanya dalam riset terpisah.