Bisnis.com, JAKARTA - Tujuh tahun lalu, PT Hanson International Tbk. memutuskan untuk membanting setir pengembang-an usaha, dari tekstil dan perdagangan menjadi energi dan pertambangan
Tak lama berselang, akhir 2013, perseroan kembali mengubah haluan dan memutuskan masuk ke bisnis properti. Lalu, bagaimana kapal yang dinakhodai oleh Benny Tjokrosaputro itu akan berlayar?
Secara resmi, emiten yang memiliki kode saham MYRX itu akhirnya melepas dan menjual seluruh aset yang berkaitan dengan usaha pertambangannya pada pertengahan tahun ini. Berdasarkan laporan keuangan semester I/2015, pendapatan perseroan di bisnis tersebut nihil, dan seluruhnya ditopang dari sektor properti.
Presiden Direktur Hanson International Benny Tjokrosaputro pada Juli lalu mengatakan keputusan itu sudah disepakati oleh pemegang saham. MYRX akan fokus dan seratus persen masuk ke dalam bisnis properti.
Baru-baru ini, Hanson telah mengakuisisi dua perusahaan properti melalui anak usahanya PT Mandiri Mega Jaya (MMJ), dengan total nilai mencapai Rp540 miliar. Sebagian besar dana tersebut diperoleh dari hasil divestasi dua anak usaha yang sebelumnya bergerak di sektor pertambangan.
Melalui akuisisi itu, perseroan menambah jumlah cadangan lahan hingga 1.000 hektare di kawasan Maja, dan 70 hektare di Tigaraksa. Kedua lokasi tersebut merupakan kawasan pengembangan yang telah dimiliki perseroan sebelumnya, dan terletak di wilayah Banten.
Analis PT Investa Saran Mandiri Kiswoyo Adi Joe menilai langkah perseroan terjun ke properti merupakan keputusan tepat, karena bisnis pertambangan tengah tertekan.
Seperti diketahui, emiten tambang batu bara PT Alam Karya Unggul Tbk. (AKKU) juga telah berganti jalur dan masuk dalam bisnis perdagangan dan jasa pada tahun ini.
“Sekarang lebih bagus untuk mengembangkan bisnis properti dari pada tambang. Hanson memang belum berpengalaman, tapi perseroan bisa melakukan kerja sama dengan pengembang lain dan mem-bagi keuntungan,” tuturnya saat dihubungi Bisnis.com.
Hal ini sudah dilakukan saat MYRX menggandeng PT Ciputra Development Tbk. (CTRA) dalam pengembangan tahap satu CitraMaja Raya dengan luasan 430 hektare. Selain itu, MYRX juga telah bekerja sama dengan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN) untuk mengembangkan area Maja lainnya.
Di kawasan Serpong, MYRX juga membentuk usaha patungan PT Pacific Millenium Land (PML), antara MMJ dengan PT Pelican Group Pte. Ltd. Dalam kerja sama ini, Hanson menggenggam saham sebanyak 41,41%.
“Perusahaan mempunyai banyak cadangan lahan. Kalau properti, saat pasar sedang lesu pengembang bisa tahan pembangunan dan risikonya lebih sedikit. Berbeda dengan tambang. Selama cadangan lahan dimiliki sendiri dan tidak berhutan, kalau didiamkan pun tidak masalah,” sambung Kiswoyo.
JURAGAN TANAH
Walaupun baru terjun sebagai pengembang properti, sebenarnya nama Benny Tjokrosaputro telah dikenal sebagai juragan tanah yang memiliki kemampuan handal dalam urusan akuisisi lahan. Kiswoyo mengatakan hal tersebut dapat menjadi modal bagi perseroan untuk secara optimal mengembangkan properti ke depannya.
Analis Citigroup Global Markets Inc. Felicia Asrinanda Barus menuturkan saat ini MYRX telah memiliki cadangan lahan sekitar 3.100 hektare yang tersebar di Maja, Serpong, Bekasi, dan Cengkareng.
Hanson bersama Ciputra telah sukses menjual 4.700 unit rumah pada akhir 2014 di CitraMaja Raya. Pada bulan ini, perseroan menjadwalkan akan meluncurkan 3.200 unit rumah lagi pada tahap kedua.
Proyek ini menyasar masyarakat kelas menengah ke bawah. “Kami yakin proyek ini akan mendapatkan peningkatan permintaan yang lebih tinggi, seiring dengan rencana pembangunan stasiun kereta api di dekat proyek. MYRX telah memperoleh izin prinsip terkait hal itu,” ungkapnya dalam riset yang dirilis pada 4 September.
Meskipun begitu, Felicia harus menurunkan estimasi perolehan laba perseroan pada tahun ini hingga dua tahun ke depan dengan kisaran di atas 80%. Pasalnya, pendapatan prapenjualan (marketing sales) MYRX tahun ini diperkirakan turun 37% dari estimasi awal, menjadi Rp1,38 triliun, akibat ditundanya peluncuran dua proyek.
Dia menghitung awalnya Hanson bisa mengantongi marketing sales hingga Rp2,19 triliun melalui penjualan proyek mereka di Maja dan Serpong. Meskipun penjualan di Maja sudah berjalan sesuai dengan target, tidak demikian untuk proyek di Serpong.
Dari target Rp1,09 triliun, proyek di Serpong diperkirakan hanya menyumbang Rp252 miliar dari Serpong Kencana. Sedangkan peluncuran Pacific Millenium ditunda hingga tahun depan. Penundaan juga dilakukan untuk proyek kerja sama dengan Bank BTN.
“Pembangunan ditunda ke tahun depan karena Hanson tengah fokus pada akuisisi lahan, dan menargetkan bisa menguasai hingga 850 hektare melalui PML. Sementara itu, proyek dengan BTN ditunda karena melihat pelemahan kondisi ekonomi,” katanya.
Felicia menambahkan terdapat beberapa risiko yang harus diperhatikan, terutama kondisi perlambatan ekonomi makro yang tengah berlangsung. Di sisi lain, kebijakan properti yang lebih ketat bisa memengaruhi bisnis perseroan ke depannya.
“Hanson juga hanya mengandal-kan pendapatan dari penjualan, dan belum memiliki pendapatan berkelanjutan [recurring income]. Selain itu, pengalaman terbatas perusahaan dalam pengembangan properti dan eksekusi menjadi risiko tersendiri,” tambahnya.