Bisnis.com, JAKARTA--Restu Presiden Joko Widodo terhadap kepemilikan properti oleh warga asing menjadi berkah tersendiri bagi PT Ciputra Property Tbk. Grup Ciputra yang menggarap residensial menengah atas ini dipastikan segera mereguk moncernya pasar apartemen mewah.
Bagaimana tidak, penjualan hunian mewah pada paruh pertama tahun ini telah anjlok hingga 80% secara tahunan. Emiten berkode saham CTRP tersebut bahkan berencana untuk merevisi target prapenjualan atau marketing sales yang dipatok Rp2,6 triliun.
Meski marketing sales telah tercapai 37% hingga Mei 2015 atau sebesar Rp960 miliar, tetapi kontributor terbesar dari Ascort Service Apartement. Sedangkan, pembeli individu terbilang sangat lemah, bahkan melorot hingga lebih dari 80%.
Candra Ciputra, Presiden Direktur Ciputra Property, mengatakan rencana dibukanya keran kepemilikan asing oleh pemerintah menjadi angin segar bagi bisnis properti kelas jetzet. Meskipun memang, hunian mewah di CTRP hanya mencapai 10%-15%, tetapi secara nilai tidak bisa dikatakan sedikit.
"Kami tidak ada proyek yang ditunda, malah kami mau mempercepat kalau asing akan masuk. Asing banyak membeli, karena CTRP banyak di Jakarta dan Bali, asing suka di dua wilayah itu," ungkapnya saat paparan publik, Selasa (30/6/2015).
Diakuinya, meski masih belum ada regulasi resmi dari pemerintah, kepemilikan asing atas properti mewah di Tanah Air dipastikan dapat mendorong penjualan residensial. Tidak hanya sebuah keinginan dari pengembang, tetapi juga harapan pemerintah karena dapat mendatangkan investasi serta menggerakan ekonomi.
Bila dibandingkan, harga hunian di Indonesia masih jauh lebih rendah ketimbang di negara-negara tetangga. Bahkan, menurut putra tertua taipan Ciputra ini, harga properti di Malaysia, Thailand, dan Filipina dua kali lipat lebih mahal ketimbang di Indonesia.
Pembukaan keran kepemilikan properti oleh asing dipercaya semakin memperluas segmen pasar kelas atas, sekaligus mendorong pemasukan negara dari sektor pajak.
Untuk sementara, batas harga yang diajukan minimal sebesar Rp5 miliar. Artinya, negara dapat memeroleh potensi pajak 40% dari harga jual. Rinciannya yaitu Pajak Penghasilan (PPh) 5%, Pajak Penjualan (PPN) 10%, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) 20% dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) senilai 5%.
Diperkirakan, kepemilikan properti oleh asing tidak akan mengganggu suplai hunian bagi masyarakat kelas menengah-bawah. Justru pemasukan dari pajak yang tinggi bisa dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan backlog nasional.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) bahkan tengah serius menyiapkan draft Peraturan Pemerintah (PP) baru untuk mengakomodasi kepemilikan properti oleh asing selama seumur hidup dengan status hak pakai.
Saat ini kepemilikan properti oleh WNA diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996. Beleid tersebut mengatur bahwa warga asing hanya berhak memiliki hak pakai properti di Indonesia selama 25 tahun yang bisa diperpanjang 20 tahun dan ditambah lagi selama 25 tahun.
Selain itu, beleid tersebut mengatakan orang asing boleh memiliki rumah tapak yang dibangun di atas tanah dengan status hak pakai atas tanah negara atau dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah. Sedangkan untuk rumah susun (rusun), statusnya hanya boleh hak pakai di atas tanah negara.
Dari catatan Dewan Pimpinan Pusat Realestate Indonesia (REI), bila pemerintah membuka kepemilikan properti oleh WNA untuk apartemen dengan harga minimal Rp10 miliar saja, setidaknya langkah itu bisa menarik pembelian hingga 10.000 unit atau senilai total Rp100 triliun. Dari jumlah tersebut, potensi pajak langsung maupun tidak langsung yang didapat pemerintah bisa mencapai Rp40 triliun.
Artadinata Djangkar, Direktur sekaligus Sekretaris Perusahaan CTRP, menambahkan penjualan properti kelas atas pada semester pertama tahun ini dipastikan paceklik. Penurunan penjualan bahkan mencapai 80%-90% akibat kekhawatira pembeli terhadap ketidakpastian pajak dan kondisi ekonomi makro Tanah Air.
Secara proporsi, CTRP memiliki jumlah unit yang terbilang menengah atas dengan harga minimum Rp5 miliar di beberapa proyek. Ciputra Internasional misalnya, hanya sedikit hunian yang dibanderol lebih dari Rp5 miliar.
Kemudian, di Ciputra World, jumlah residensial yang dihargai lebih dari Rp5 miliar tidak mencapai 20% dari total penawaran. Namun, proyek di Bali, hampir semua dibanderol di atas Rp5 miliar.
"Tetapi yang beli juga tidak banyak untuk segmen itu. Asing juga sedikit. Kami tidak melihat itu sebagai penggerak penjualan," paparnya.
Hingga Mei 2015, perseroan telah menyerap belanja modal (capital expenditure/capex) sebesar 50% dari total alokasi tahun ini Rp2,1 triliun. Meski target marketing sales bakal direvisi, manajemen CTRP memastikan tidak akan mengurangi alokasi belanja modal tahun ini.
Pada kuartal I/2015, CTRP mengantongi pendapatan Rp329,69 miliar, naik 31,2% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya Rp251,21 miliar. Sedangkan, laba yang diraih naik 3,2% dari Rp30,08 miliar menjadi Rp31,05 miliar.
Sepanjang tahun ini, perseroan membidik target pendapatan Rp3,13 triliun dengan laba kotor Rp1,48 triliun. Laba operasional ditargetkan dapat mencapai Rp1,05 triliun dengan raihan laba bersih yang dibidik Rp583 miliar.
Analis PT Mandiri Sekuritas Liliana S. Bambang mengaku sedikit khawatir terhadap risiko marketing sales emiten properti tahun ini. Untuk itu, Mandiri Sekuritas masih menetapkan rekomendasi neutral untuk sektor properti.
"Beberapa perusahaan sudah menyatakan akan menunda peluncuran proyek baru tahun ini karena pelemahan ekonomi, terutama untuk proyek gedung tinggi," paparnya dalam riset belum lama ini.
Dia juga mengatakan, Ditjen Pajak merevisi penghitungan PPh 22, sehingga aturan yang baru sudah mengecualikan pajak barang mewah (20%) dan pajak pertambahan nilai (10%) pada penghitungan Rp5 miliar. Karena itu, properti yang dijual pada harga Rp5 miliar ke atas saja yang dikenai pajak barang super mewah 5%.
Revisi itu mulai berlaku per 12 Juni. Mandiri Sekuritas menilai hal itu positif, dan berarti Ditjen Pajak melonggarkan pendapatan pajak yang agresif pada sektor properti.