Bisnis.com, JAKARTA – Volatilitas imbal hasil (yield volatility) surat utang negara acuan bertenor 10 tahun mencapai titik tertinggi sejak Januari 2011 yang mengindikasikan pergerakan yield harian sulit diprediksi.
Menurut data Asian Bonds Online, indeks yield volatility obligasi pemerintah acuan bertenor 10 tahun pada Senin (29/7/2013) mencapai 1,894 atau yang tertinggi sepanjang tahun ini akibat kekhawatiran investor terhadap inflasi yang tinggi pada Juli.
Amir Dalimunthe, Debt Research Analyst PT Danareksa Sekuritas, menuturkan kenaikan indeks volatilitas terjadi karena sejak 2011 yield obligasi pemerintah cenderung turun dan agak datar sehingga saat ini kenaikannya cenderung tinggi.
“Dengan melihat pergerakan yield obligasi 10 tahun sudah terlihat sangat volatile. Tiba-tiba yield naik 2% dalam kurun waktu sebulan, makanya indeks volatility meloncat,” ujarnya, Selasa (30/7/2013).
Dia menuturkan kenaikan indeks volatilitas ini normal terjadi karena pasar saat ini sedang berusaha menyesuaikan diri dengan inflasi baru yang diprediksi naik akibat meningkatnya harga bahan bakar minyak bersubsidi yang akan diikuit kebijakan suku bunga acuan baru.
Menurutnya, pasar sudah menyiapkan berbagai skenario untuk menghadapi kenaikan inflasi. Namun, lanjutnya, kekhawatiran saat ini justru berada pada volatilitas rupiah yang terus meningkat dalam beberapa waktu terakhir ini. “Rupiah yang sangat kami khawatirkan saat ini,” ujarnya.
Dia menjelaskan masih melemahnya rupiah kembali meningkatkan risiko nilai tukar yang harus dihadapi oleh investor asing yang berdampak pada melebarnya currency risk premium.
Riset PT Penilai Harga Efek Indonesia (Indonesia Bond Pricing Agency/IBPA) yang dirilis Senin (29/7/2013) menjelaskan investor meminta yield yang lebih tinggi akibat terkompensasi oleh risiko nilai tukar tersebut.
Adapun, currency risk premium untuk tenor 10-tahun pada pekan lalu melebar ke kisaran 540 basis poin dibandingkan dengan posisi pekan sebelumnya yang masih berada di level 538,6 basis poin.
Pelebaran ini diakibatkan adanya kenaikan yield surat utang negara 10 tahun yang lebih cepat dari yield U.S Treasury 10 tahun.
Selain pelemahan nilai tukar rupiah, meningkatnya risiko pasar bagi investor asing pun terlihat dari meningkatnya Credit Default Swap (CDS) spread tenor 5 tahun Indonesia sebesar 12,9 basis poin dari level 194,86 ke level 207,77.
Sementara itu, aktivitas perdagangan obligasi di pasar sekunder pada pekan lalu mengalami penurunan dibandingkan dengan pekan sebelumnya. Secara historis, menjelang libur panjang terkait lebaran, transaksi memang selalu tampak menurun.
Rata-rata volume perdagangan obligasi pada pekan lalu mencapai Rp4,7 triliun perhari atau turun 19,1% dari pekan sebelumnya Rp5,7 triliun per hari. Selain volume tercatat turun, frekuensi perdagangan harian juga turun 6,0% dari 293 transaksi per hari menjadi 275 transaksi per hari.