Bisnis.com, JAKARTA – Rupiah masih belum bangkit, terus melemah ke Rp14.096 per dolar Amerika Serikat dari penutupan sebelumnya di posisi Rp13.973. Pelemahan tertekan oleh imbal hasil AS di atas 3% dan pasar yang masih menantikan kebijakan Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga.
Pada perdagangan Rabu (16/5/2018) rupiah yang dibuka pada posisi Rp13.073 per dolar AS melemah 59 poin atau 0,42% menjadi Rp14.096 per dolar AS.
Pelemahantersebut tertekan oleh penguatan dolar AS atas kenaikan treasury yields AS selama 10 tahun yang mencapai lebih dari 3% berhasil mengembalikan reli yang sempat hilang pekan lalu.
Sebelumnya, penguatan greenback dihambat oleh berbagai masalah pada pertengahan April.
Namun, saat ini, seiring dengan berkurangnya ketegangan dengan Semenanjung Korea dan keputusan perdagangan AS-China yang tidak ingin membawa perang dagang semakin berlarut membuat investor lebih fokus pada keuntungan dari treasury yields yang sedang dinikmati AS
Adapun, yang menjadi faktor pendorong penguatan dolar AS karena Presiden AS Donald Trump berjanji akan membantu perusahaan telekomunikasi China ZTE, setelah sebelumnya dijatuhkan sanksi karena melakukan pelanggaran pada perjanjian AS dengan Iran.
Untuk upaya menguatkan rupiah, Bank Indonesia dijadwalkan akan merilis data suku bunganya pada Kamis (17/5). Pasar berharap BI akan menaikkan suku bunga untuk mendorong penguatan rupiah.
“BI akan merilis data suku bunga pada Kamis, sejauh ini ekspektasinya belum ada perubahan, jika BI memberi kejutan dengan menaikkan suku bunga, maka akan memberikan sedikit stimulus positif terhadap rupiah,” ujar Faisyal, analis PT Monex Investindo Futures kepada Bisnis, Rabu (16/5/2018).
Won, mata uang Korea Selatan, dan rupiah menjadi mata uang yang mengalami pelemahan terparah dalam pasar berkembang (emerging markets) terdampak dari penguatan dolar AS.