Bisnis.com, JAKARTA — Kiwoom Sekuritas memperkirakan prospek kinerja emiten properti hingga akhir 2025 tumbuh terbatas akibat tekanan kinerja marketing sales.
Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia Suryanata mengatakan aktivitas sejumlah emiten properti pada kuartal I/2025 menunjukkan kondisi yang relatif lemah, dengan marketing sales sebagian besar emiten tercatat kurang memuaskan.
Lebih jauh, Liza menyampaikan berdasarkan riset dari Investabook dan TradingView Indonesia, pertumbuhan marketing sales dan pendapatan emiten properti diproyeksikan hanya berada di kisaran 3–5% secara tahunan (YoY). Kondisi ini mencerminkan pemulihan yang moderat pasca tekanan ekonomi global.
Selain itu, daya beli rumah tangga dinilai masih lemah, dan meskipun suku bunga berpotensi turun, masyarakat cenderung tetap berhati-hati dalam mengambil keputusan pembelian properti.
"Outlook sektor properti Indonesia pada 2025 diperkirakan akan stabil tetapi tumbuh terbatas," ujarnya kepada Bisnis dikutip, Rabu (16/7/2025).
Namun demikian, dia mencermati masih terdapat beberapa emiten yang berhasil mencatatkan kinerja positif.
Baca Juga
CTRA, sebutnya, menonjol dengan perolehan laba bersih tertinggi sebesar Rp 660 miliar, tumbuh 36,6% secara tahunan (YoY), didorong oleh peningkatan pendapatan sebesar 18% YoY.
Selain itu, emiten lain seperti PT Indonesian Paradise Property Tbk. (INPP) PT Pakuwon Jati Tbk. (PWON) PT Summarecon Agung TBK. (SMRA), dan PT Bangun Kosambi Sukses Tbk. (CBDK) juga berhasil membukukan laba bersih, meskipun sebagian dari segmen bisnis mereka masih mencatat performa di bawah capaian tahun sebelumnya.
Dalam situasi ini, dia menilai emiten dengan neraca keuangan yang kuat serta pendapatan berulang atau recurring income seperti CTRA, BSDE, dan PWON akan lebih tahan terhadap tekanan pasar dan berpeluang mencatatkan kinerja yang stabil atau bahkan meningkat seiring perbaikan kondisi makroekonomi.
Adapun Kiwoom memperkirakan saham emiten properti yang menarik untuk dikoleksi di tahun 2025 antara lain CTRA, BSDE, dan PWON, karena memiliki fundamental yang kuat dan valuasi yang relatif murah.
CTRA mencatatkan laba bersih tertinggi pada kuartal I/2025 sebesar Rp660 miliar atau tumbuh 36,6% YoY dengan P/E sekitar 7.66 kali dan PBV 0.79x
BSDE, lanjutnya, juga menarik dengan P/E hanya 5.03x dan PBV 0,39 kali salah satu yang paling undervalued di sektornya.
Sementara itu, PWON memiliki proporsi pendapatan berulang yang tinggi dari pusat perbelanjaan dan properti komersial, dengan valuasi yang masih wajar di P/E 8.76 kali dan PBV 0.85 kali.
Dia optimistis Indonesia menawarkan valuasi yang lebih menarik, sementara negara lain seperti Vietnam dan Singapura memiliki prospek pertumbuhan yang lebih tinggi. Emiten properti Indonesia saat ini diperdagangkan di P/E sekitar 14–15x kali dan PBV sekitar 1,0–1,2 kali, relatif lebih murah dibanding negara tetangga seperti Singapura dan Vietnam, di mana P/E sektor bisa mencapai 18–25x kali karena ekspektasi pertumbuhan lebih tinggi.
Namun, secara kinerja, earnings emiten properti Indonesia diproyeksikan hanya tumbuh sekitar 3–5% YoY pada 2025 akibat lemahnya daya beli dan kebergantungan pada insentif fiskal.
Sebaliknya, sektor properti di Vietnam menunjukkan pertumbuhan dua digit karena urbanisasi yang agresif dan pasar residensial yang ekspansif, sementara Singapura unggul di segmen komersial dan REITs dengan portofolio global.
"Indonesia lebih unggul dari sisi valuasi dan cocok untuk strategi value investing, sedangkan Vietnam dan Singapura lebih menarik bagi investor yang mengejar pertumbuhan jangka panjang, meski dengan harga yang lebih premium," terangnya.
Lebih jauh, dia memperkirakan jumlah faktor dapat mendorong sektor properti naik tahun ini. Pertama adalah penurunan BI Rate yang dapat menurunkan suku bunga KPR dan menggairahkan pasar properti.
Perpanjangan insentif PPN DTP 100% hingga akhir 2025 untuk rumah di bawah Rp5 miliar, hingga pertumbuhan urbanisasi dan tingginya backlog perumahan atau lebih dari 9 juta unit memberikan permintaan jangka panjang yang kuat.
Namun, terdapat juga risiko yang tetap menghantui sektor ini. Hal ini berkaitan dengan daya beli masyarakat masih lemah, dengan preferensi yang kini bergeser ke sewa (70%) dibanding beli (30%).
Termasuk juga ketergantungan terhadap insentif fiskal yang jika dihentikan, berpotensi menurunkan permintaan tajam pada 2026.
Sisi lain tekanan global, mulai dari geopolitik hingga pelemahan ekonomi China, dapat berdampak terhadap sektor properti sebagai aset riil.