Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak mentah menguat ke level tertinggi dalam dua pekan seiring dengan ekspektasi penurunan produksi minyak AS, serangan terbaru Houthi di Laut Merah, kekhawatiran atas tarif tembaga dari AS, serta aksi beli teknikal pasca penembusan level resistensi.
Berdasarkan data Reuters pada Rabu (9/7/2025), harga minyak berjangka jenis Brent naik 57 sen atau 0,8% di US$70,15 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS naik 40 sen atau 0,6% ke US$68,33 per barel. Keduanya mencatatkan penutupan tertinggi sejak 23 Juni untuk hari kedua berturut-turut.
Phil Flynn, analis Price Futures Group menuturkan, revisi turun proyeksi produksi AS menjadi pemicu awal reli harga. Kenaikan berlanjut seiring kabar tarif tembaga serta meningkatnya ketegangan di Laut Merah.
Badan Informasi Energi AS (EIA) dalam proyeksi terbarunya menyatakan bahwa produksi minyak AS pada 2025 diperkirakan lebih rendah dari sebelumnya, seiring penurunan harga minyak yang membuat produsen mengurangi aktivitas pengeboran tahun ini.
Pada hari yang sama, Presiden AS Donald Trump menyatakan akan mengenakan tarif 50% terhadap impor tembaga, guna mendorong peningkatan produksi domestik. Tembaga merupakan bahan krusial bagi kendaraan listrik, perlengkapan militer, jaringan listrik, dan berbagai barang konsumsi. Keputusan Trump ini mengejutkan pasar dan membuat harga tembaga melonjak ke rekor tertinggi.
Sementara itu, ketegangan geopolitik kembali meningkat setelah kapal pengangkut berbendera Liberia, Eternity C, yang dioperasikan Yunani, diserang oleh drone dan kapal cepat di lepas pantai Yaman. Serangan itu menewaskan tiga awak kapal dan menjadi insiden kedua dalam satu hari setelah berbulan-bulan relatif tenang.
Baca Juga
Serangan di Laut Merah telah memaksa kapal pengangkut minyak, LNG, dan produk energi lainnya menghindari wilayah tersebut dan menempuh jalur lebih panjang, yang turut meningkatkan biaya energi global.
Sejumlah analis juga menilai penguatan harga minyak dipicu oleh aksi short covering teknikal, terutama setelah harga Brent menembus level psikologis US$70 per barel yang menjadi titik resistensi penting.
Selain itu, para pelaku pasar energi mencermati kenaikan harga bensin dan solar di AS dalam beberapa pekan terakhir. Lonjakan tersebut telah mendorong diesel crack spread ke level tertinggi sejak Maret 2024 dan 3:2:1 crack spread ke posisi tertinggi dalam enam pekan. Crack spread merupakan indikator margin keuntungan bagi kilang minyak.
“Faktor paling positif saat ini adalah kemampuan pasar minyak untuk terus menguat meski dibayangi berbagai sentimen negatif yang biasanya menekan harga,” tulis analis Ritterbusch and Associates dalam catatan risetnya.
Adapun sentimen negatif yang dimaksud antara lain rencana Trump untuk kembali mengeskalasi perang dagangnya, serta rencana OPEC+ untuk meningkatkan produksi sebesar 548.000 barel per hari (bph) mulai Agustus.
Sementara itu, para analis memperkirakan stok minyak mentah AS turun sekitar 2,1 juta barel pekan lalu. Data resmi dari American Petroleum Institute (API) dijadwalkan dirilis Selasa waktu AS, sementara laporan mingguan dari EIA akan menyusul pada Rabu.
Jika estimasi tersebut akurat, maka ini akan menjadi penarikan stok keenam dalam tujuh pekan terakhir. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama tahun lalu, stok minyak turun 3,4 juta barel. Sementara rata-rata lima tahun terakhir (2020–2024) menunjukkan peningkatan sekitar 1,9 juta barel pada pekan yang sama.