Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pantang Surut Strategi Bisnis Harita Nickel (NCKL) saat Nikel Lesu

Fluktuasi harga nikel tidak menghalangi Harita Nickel (NCKL) memacu pertumbuhan pendapatan dan laba bersih sepanjang 2025.
Suasana penggalian tambang nikel milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Suasana penggalian tambang nikel milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA — Fluktuasi harga nikel tidak menyurutkan langkah PT Trimegah Bangun Persada Tbk. (NCKL) atau Harita Nickel untuk mempertahankan pertumbuhan kinerja pendapatan dan laba bersih pada 2025.

Melansir data Trading Economics, harga nikel bertengger di level US$15.007 per metrik ton pada Kamis (19/6/2025) malam. Banderol itu mencerminkan penurunan senilai US$89 atau 0,59% secara harian dan 13,76% secara tahunan.

Sementara itu, berdasarkan data London Metal Exchange (LME), harga nikel kontrak 3 bulan mencapai US$15.045 atau turun 0,05% dari perdagangan sebelumnya.

Direktur Keuangan Harita Nickel Suparsin Darmo Liwan memandang bahwa harga nikel saat ini relatif stabil di kisaran US$15.000 per ton. Meski sempat turun di bawah level tersebut, harga nikel dinilai sudah menyentuh titik terbawah.

“Dengan kondisi harga saat ini, kami masih cukup optimistis terhadap kinerja perusahaan, mengingat posisi kami sebagai low-cost producer,” ujar Suparsin dalam paparan publik yang digelar pada Rabu (18/6/2025).

Seiring kondisi itu, NCKL akan memacu kapasitas produksi salah satunya dari entitas anak PT Gane Tambang Sentosa (GTS) yang telah mulai beroperasi. Stabilitas operasional dari anak usaha seperti PT Megah Surya Pertiwi (MSP) dan PT Halmahera Jaya Feronikel (HJF) juga diperkirakan menjadi faktor penopang.

Kontribusi juga diharapkan datang dari PT Obi Nickel Cobalt (ONC) yang telah mencapai kapasitas optimal, serta PT Karunia Permai Sentosa (KPS) yang sudah beroperasi secara bertahap sejak awal tahun ini.

NCKL lantas menargetkan produksi feronikel (FeNi) sebesar 60.000 ton pada 2025. Target itu didukung percepatan pembangunan proyek smelter Rotary Kiln-Electric Furnace (RKEF) ketiga di Pulau Obi, Halmahera Selatan melalui KPS.

Direktur Utama Harita Nickel Roy Arman Arfandi mengatakan bahwa perseroan telah merampungkan pembangunan 4 dari 12 jalur produksi pada proyek RKEF. Keempat jalur itu telah beroperasi secara bertahap sejak Januari-Maret 2025.

“Sementara itu, sisa 8 line masih dalam tahap konstruksi. Diperkirakan nanti kapasitas produksi tahun ini akan mencapai 60.000 ton kandungan nikel per tahun dalam bentuk FeNi,” ucapnya dalam kesempatan yang sama.

Selain memacu pembangunan smelter, NCKL juga sedang mengembangkan proyek pengolahan kapur melalui pabrik PT Cipta Kemakmuran Mitra (CKM).

Pabrik tersebut akan mengolah batu kapur (limestone) menjadi quicklime untuk mendukung proses pengolahan nikel di fasilitas eksisting. Hingga kuartal I/2025, proyek senilai US$70 juta itu telah mencapai progres konstruksi sekitar 42%.

“Selama ini kami membeli quicklime dari pihak ketiga dengan harga tinggi. Dengan beroperasinya CKM, kami berharap dapat menurunkan biaya produksi,” kata Roy.

Dari sisi hulu, Harita Nickel juga tengah mempersiapkan pembukaan tambang ketiga melalui GTS. Perseroan sedikitnya telah menyelesaikan eksplorasi di area seluas 438 hektare dengan 1.800 titik pengeboran sampai dengan Maret 2025.

Prospek Saham NCKL

Di sisi lain, hingga kuartal I/2025 emiten pertambangan dan dan pemrosesan nikel terintegrasi ini tercatat membukukan pendapatan sebesar Rp7,13 triliun. Perolehan tersebut naik dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yakni Rp6,03 triliun.

Sejalan dengan kenaikan pendapatan, beban pokok penjualan NCKL naik 13,81% year on year (YoY) menjadi Rp5,02 triliun. Dengan demikian, perseroan membukukan laba kotor sebesar Rp2,1 triliun atau meningkat 29,90% YoY sepanjang Januari-Maret 2025.

Perseroan juga menorehkan pertumbuhan laba bersih yang dapat diatribusikan ke entitas induk sebesar 65,48% YoY menjadi Rp1,65 triliun. Kenaikan ini pun mengerek laba per saham perseroan dari Rp15,87 ke Rp26,27 pada kuartal I/2025.

Namun, di tengah capaian positif kinerja NCKL, harga nikel global diperkirakan masih akan bertahan di level moderat karena pasar dibayangi kelebihan pasokan.

Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Muhammad Farras Farhan, menyampaikan pasokan nikel dunia diperkirakan mencapai 3,8 juta ton pada 2025, dipimpin peningkatan produksi dari Indonesia yang telah menembus angka 2,1 juta ton.

Meski suplai meningkat signifikan, tekanan dari sisi lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), kekurangan pasokan asam sulfat sebagai bahan pengolahan, serta keterlambatan perizinan turut membatasi laju pertumbuhan output.

Dari sisi permintaan, Farras menuturkan sektor baja tahan karat masih menjadi kontributor utama dengan pangsa sekitar 68%. sementara permintaan dari sektor baterai diperkirakan melambat menjadi 10% YoY, antara lain dipicu penggunaan teknologi baterai Lithium Iron Phosphate (LFP) yang tidak membutuhkan nikel.

Alhasil, Mirae Asset mempertahankan peringkat netral untuk sektor logam secara keseluruhan karena dinilai masih menghadapi tantangan dalam jangka pendek, terutama akibat tekanan harga nikel yang belum sepenuhnya pulih.

“Meskipun sentimen terhadap nikel masih lemah, kami menilai sebagian besar sentimen negatif sudah tercermin dalam harga sehingga memberikan peluang masuk secara taktis,” ujarnya dalam publikasi riset yang dirilis Selasa (17/6/2025).

Sementara itu, saham NCKL masih mendapatkan pandangan positif dari mayoritas analis. Berdasarkan data Bloomberg hingga Rabu (18/6), sebanyak 23 dari 24 analis atau 95,8% menyematkan rekomendasi beli dan satu analis memberikan peringkat tahan.

Target harga konsensus saham NCKL dalam 12 bulan ke depan berada di level Rp1.095,41 per saham. Proyeksi ini mencerminkan potensi imbal hasil sebesar 59,9% dibandingkan harga penutupan kemarin yang berada di Rp685 per saham.

Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas kerugian atau keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper