Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak dunia turun sekitar US$1 per barel menyusul laporan bahwa Iran mendorong upaya perdamaian dengan Israel. Peluang gencatan senjata ini meredakan kekhawatiran pasar akan potensi gangguan pasokan minyak dari kawasan Timur Tengah.
Melansir Reuters pada Selasa (17/6/2025), harga minyak berjangka jenis Brent melemah US$1 atau 1,35% ke level US$73,23 per barel. Sementara itu, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) AS turun US$1,21 atau 1,66% ke US$71,77 per barel.
Iran dilaporkan telah meminta Qatar, Arab Saudi, dan Oman untuk mendorong Presiden AS Donald Trump menggunakan pengaruhnya terhadap Israel agar segera menyetujui gencatan senjata.
Sebagai imbalannya, Teheran disebut bersedia menunjukkan fleksibilitas dalam pembicaraan terkait program nuklirnya. Sebelumnya, Wall Street Journal juga melaporkan bahwa Iran tengah mencari peluang gencatan senjata.
“Para pelaku pasar mulai mengurangi spekulasi bahwa saling serang antara Israel dan Iran akan berkembang menjadi perang regional besar yang bisa mengancam infrastruktur energi,” kata Robert Yawger, analis Mizuho.
Harga minyak sempat melonjak lebih dari 7% pada Jumat pekan lalu setelah Israel melancarkan serangan udara ke Iran dengan tuduhan bahwa Teheran hampir memiliki senjata nuklir.
Baca Juga
Rory Johnston, analis energi dan pendiri Commodity Context, menyebut, lonjakan harga tersebut dinilai telah membawa pasar ke level jenuh beli secara teknikal, yang biasanya diikuti oleh koreksi harga.
Dia menjelaskan, kenaikan harga yang tajam pada pekan lalu sebagian besar didorong oleh aliran dana spekulatif yang sangat besar, membawa posisi pasar kembali ke level spekulatif yang terlalu tinggi.
“Dalam situasi seperti itu, pasar sangat rentan terhadap aksi jual mendadak," jelasnya.
Meskipun kedua negara telah saling meluncurkan serangan udara—termasuk ke sejumlah infrastruktur energi—fasilitas ekspor minyak utama belum terdampak.
“Israel belum menyentuh Pulau Kharg, dan itu menjadi titik perhatian utama saat ini,” ujar Yawger, merujuk pada pelabuhan ekspor minyak utama Iran. Dia memperkirakan, jika Pulau Kharg diserang, harga minyak bisa melonjak ke level US$90 per barel.
Kepala Riset Onyx Capital Group Harry Tchilinguirian menuturkan, pergerakan harga ke depannya akan tergantung pada seberapa jauh konflik ini mengganggu arus energi.
“Sejauh ini, kapasitas produksi dan ekspor masih utuh, dan belum ada indikasi Iran berupaya mengganggu alur pengiriman melalui Selat Hormuz," jelasnya.
Di sisi lain, pasukan angkatan laut mengungkapkan adanya peningkatan gangguan sinyal navigasi elektronik terhadap kapal-kapal komersial yang melintas di Selat Hormuz dan Teluk Persia dalam beberapa hari terakhir. Gangguan ini mulai berdampak terhadap pelayaran.
Selat Hormuz merupakan jalur vital yang dilalui sekitar 20% konsumsi minyak global, atau sekitar 18 hingga 19 juta barel per hari mencakup minyak mentah, kondensat, dan bahan bakar.
Iran, yang merupakan anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), saat ini memproduksi sekitar 3,3 juta barel per hari (bph) dan mengekspor lebih dari 2 juta bph minyak dan produk turunannya.
Menurut analis dan pengamat OPEC, kapasitas cadangan produsen OPEC+ untuk meningkatkan produksi dalam merespons gangguan pasokan relatif setara dengan total output Iran saat ini.