Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak dunia melonjak ke level tertinggi dalam dua pekan terakhir, dipicu oleh ketegangan geopolitik yang belum mereda antara Rusia dan Ukraina serta ketidakpastian seputar nasib sanksi Amerika Serikat terhadap Rusia dan Iran—dua anggota utama OPEC+.
Melansir Reuters, Rabu (4/6/2025), minyak mentah Brent menguat US$1 atau 1,5% ke level US$65,63 per barel. Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) asal AS naik 89 sen atau 1,4%, menjadi US$63,41 per barel.
Dalam catatannya, analis dari Ritterbusch and Associates menilai bahwa premi risiko di pasar minyak mengalami lonjakan seiring tertundanya negosiasi gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina, serta macetnya pembicaraan nuklir antara AS dan Iran—yang diperkirakan bakal berlarut hingga berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.
Rusia menyampaikan bahwa proses menuju penyelesaian konflik Ukraina sangat kompleks dan tidak realistis jika mengharapkan keputusan cepat. Negeri Beruang Merah itu kini menantikan balasan Ukraina atas proposal yang telah mereka ajukan.
Sebagai produsen minyak terbesar kedua di dunia setelah AS pada 2024 (versi data energi AS), Rusia merupakan anggota OPEC+, organisasi negara-negara pengekspor minyak dan sekutunya.
Di sisi lain, Iran yang juga tergabung dalam OPEC dikabarkan tengah bersiap menolak proposal nuklir dari AS, sebuah keputusan yang berpotensi menggagalkan upaya pelonggaran sanksi terhadap sektor energi negara tersebut. Pada 2024, Iran tercatat sebagai produsen minyak terbesar ketiga di OPEC, setelah Arab Saudi dan Irak.
Baca Juga
Sementara itu, kebakaran hutan besar di wilayah Alberta, Kanada, mengganggu produksi sekitar 344.000 barel minyak pasir per hari—setara 7% dari total output minyak mentah Kanada, menurut hitungan Reuters.
Permintaan Berpeluang Menguat
Dari Eropa, inflasi zona Euro tercatat menurun di bawah target Bank Sentral Eropa (ECB) pada Mei 2025, didorong oleh turunnya biaya jasa secara tak terduga. Kondisi ini memperkuat keyakinan bahwa ECB akan melanjutkan pelonggaran kebijakan moneternya.
Penurunan suku bunga biasanya menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi, termasuk minyak, karena biaya pinjaman menjadi lebih murah.
Namun di AS, Gubernur Federal Reserve Chicago Austan Goolsbee memperingatkan bahwa kebijakan tarif impor dapat memicu lonjakan inflasi dalam waktu dekat. Meski demikian, ia menekankan bahwa efek perlambatan ekonomi akibat tarif kemungkinan baru akan terlihat dalam jangka menengah.
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) turut merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi global, dengan alasan bahwa dampak perang dagang yang diinisiasi Presiden AS Donald Trump semakin menekan perekonomian Negeri Paman Sam.
Di pasar tenaga kerja, data terbaru menunjukkan peningkatan jumlah lowongan kerja di AS sepanjang April. Namun, jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) juga melonjak—kenaikan tertinggi dalam sembilan bulan terakhir—menandakan melemahnya fundamental pasar kerja di tengah ketidakpastian ekonomi akibat tarif.
AS juga tengah mempercepat negosiasi perdagangan dengan sejumlah negara, dengan batas waktu hingga Rabu. Pemerintah berharap bisa merampungkan beberapa kesepakatan sebelum tenggat lima minggu yang ditetapkan sendiri.
Dari sisi pasokan, analis memperkirakan perusahaan energi AS menarik sekitar satu juta barel minyak mentah dari cadangan pekan lalu, memperpanjang tren penurunan selama dua minggu berturut-turut.
Sebagai perbandingan, periode yang sama tahun lalu mencatatkan peningkatan 1,2 juta barel, sementara rata-rata lima tahun terakhir menunjukkan penurunan sekitar 2,3 juta barel.
Data resmi mengenai persediaan minyak mingguan akan dipublikasikan oleh American Petroleum Institute (API) pada Selasa dan Energy Information Administration (EIA) pada Rabu.