Bisnis.com, JAKARTA — Di tengah tekanan keuangan yang masih membayangi, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) mendapat angin segar dari kabar rencana suntikan modal oleh Danantara. Meski belum final, langkah ini dipandang sebagai peluang strategis untuk memperbaiki fundamental emiten maskapai pelat merah tersebut. Namun, pemulihan kinerja Garuda dipandang tak cukup hanya mengandalkan dukungan dana, melainkan juga menuntut restrukturisasi menyeluruh dan penajaman fokus usaha.
Pengamat BUMN Toto Pranoto menyebut kondisi GIAA masih mengkhawatirkan. Beberapa pesawat tidak bisa dioperasikan akibat keterbatasan dana perawatan. Dalam kondisi tersebut, suntikan dari Danantara bisa menjadi penyelamat, dengan catatan Garuda menyusun proposal bisnis yang kuat dan layak secara komersial.
“Danantara bisa ambil alih problem Garuda. Sumber dananya bisa berasal dari dividen BUMN 2024 yang sebagian besar sudah disetor ke Danantara,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (19/5/2025). Ia menyarankan agar Garuda fokus pada pasar domestik serta rute luar negeri yang bersifat gemuk dan captive seperti haji atau wisata ke Jepang dan Australia.
"Fokus utama Garuda bisa melayani kebutuhan pasar domestik saja. Sementara itu, rute luar negeri dibatasi pada segmen captive dan gemuk saja, misal angkutan haji atau pasar wisata mancanegara potensial seperti Jepang atau Australia," kata Toto.
Sementara itu, pengamat BUMN Herry Gunawan menambahkan bahwa secara politis, suntikan modal tersebut memang harus dilakukan. Reputasi Danantara sebagai holding utama BUMN dipertaruhkan. Jika Garuda tak terselamatkan, hal ini bisa mencoreng peran Danantara, apalagi jika dikaitkan dengan BUMN lain yang tengah kesulitan.
"Jika di awal ada BUMN yang bubar akibat utang dan Danantara tidak bisa mengatasi, ini bisa jadi preseden buruk bagi BUMN lain, seperti pada BUMN karya," kata Herry.
Baca Juga
Namun, di balik urgensinya, tantangan finansial GIAA tidak ringan. Per kuartal I/2025, Garuda masih mencatat rugi bersih sebesar US$76,48 juta, meski membaik dari rugi US$87,03 juta pada periode yang sama tahun lalu. Pendapatan naik tipis 1,62% YoY menjadi US$723,56 juta. Namun beban usaha juga meningkat menjadi US$718,35 juta, didorong oleh biaya sewa pesawat dan estimasi pengembalian armada.
Herry mengatakan kegiatan operasional GIAA sebenarnya berkinerja positif. Namun, karena beban keuangannya terlalu besar, sehingga menekan kondisi keuangan perusahaan.
"Saat ini, persoalan terberat dari Garuda, kalau melihat laporan keuangan kuartal I/2025, terutama pada beban sewa serta estimasi biaya pengembalian dan pemeliharaan pesawat," ujar Herry.
Oleh karena itu, menurutnya sangat penting bagi GIAA untuk melakukan negosiasi ulang dengan perusahaan yang menyewakan pesawat. Apalagi dalam kasus sewa pesawat itu ada malpraktik, sehingga kasusnya sudah mendapatkan keputusan tetap pengadilan di Indonesia.
Adapun, GIAA mencatatkan beban usaha yang naik 2,19% yoy menjadi US$718,35 juta pada tiga bulan pertama 2025, dibandingkan US$702,92 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Setelah diakumulasi dengan pendapatan serta beban usaha lainnya maka rugi sebelum pajak GIAA mencapai US$88,73 juta, menyusut dibandingkan rugi sebelum pajak pada periode yang sama tahun sebelumnya US$100,76 juta.
GIAA juga masih berkutat dengan ekuitas negatif, di mana liabilitas GIAA melebihi asetnya. Tercatat, aset GIAA mencapai US$6,45 miliar per kuartal I/2025. Sementara, liabilitas GIAA mencapai US$7,88 miliar.
Alhasil, ekuitas negatif GIAA mencapai US$1,43 miliar pada periode yang berakhir 31 Maret 2025.
"Dengan demikian, tingkat risiko operasional Garuda sangat tinggi. Tekanan ini akan terus menghantui kinerja Garuda," kata Herry.
Selain tekanan dari sisi fundamental, pergerakan saham GIAA juga merefleksikan dinamika bisnisnya yang penuh gejolak. Sejak resmi melantai di Bursa Efek Indonesia pada 11 Februari 2011 dengan harga penawaran perdana Rp750 per saham, GIAA sempat mencatat reli singkat sebelum terseret dalam tren penurunan jangka panjang.
Tekanan kinerja operasional serta polemik restrukturisasi utang selama bertahun-tahun terus menggerus harga saham Garuda. Situasi kian memburuk ketika pandemi COVID-19 melanda, menghantam industri penerbangan global. Pada periode 2020–2021, saham GIAA anjlok drastis hingga berada di kisaran Rp50–60 per lembar. Bahkan, sempat mengalami suspensi perdagangan seiring proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Pasca restrukturisasi dan munculnya wacana penggabungan dengan Citilink, saham GIAA sempat mencatat reli teknikal terbatas. Kendati demikian, harga sahamnya hingga kini masih jauh tertinggal dari level IPO.
Pada penutupan perdagangan Senin (19/5/2025), saham GIAA tercatat menguat 8,33% atau naik 3 poin ke level Rp39 per saham. Kenaikan ini terjadi di tengah munculnya kabar rencana suntikan modal dari Danantara. Meski mencatat penguatan harian, harga saham GIAA secara historis masih berada di kisaran terendahnya dalam lebih dari satu dekade terakhir.
Sebelumnya, Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Miftahul Khaer mengatakan terdapat sejumlah tantangan yang menghinggapi bisnis GIAA. Garuda Indonesia masih berkutat dengan kondisi kerugian besar dan ekuitas negatif. Tantangan lainnya juga dihadapi GIAA, yakni persaingan pasar seiring dengan kehadiran maskapai anyar. Selain itu, terdapat tantangan volatilitas harga bahan bakar.
"Akan tetapi, terdapat peluang yakni ekspansi seperti penambahan pesawat dan rute baru pada 2025 tentunya merupakan sebuah katalis positif," ujarnya kepada Bisnis.
Pemulihan sektor pariwisata dan peningkatan permintaan perjalanan domestik serta internasional juga bisa menjadi katalis positif. Sebagaimana diketahui, Danantara sebagai super holding BUMN dikabarkan akan mengucurkan modal kepada emiten maskapai pelat merah GIAA.
Mengutip Bloomberg, sumber yang mengetahui informasi tersebut menyebutkan bahwa pembahasan masih bersifat awal dan belum ada keputusan final. Besaran suntikan modal juga masih dalam tahap pembahasan. Sementara itu, baik pihak Garuda Indonesia maupun Danantara belum memberikan tanggapan atas permintaan konfirmasi.
Danantara telah menjadi super holding dari entitas-entitas BUMN. Danantara telah resmi meluncur pada Februari 2025. Kemudian, pada Maret 2025, jajaran pengurus Danantara resmi diangkat.
Selain itu, terdapat pula aksi korporasi di mana pemerintah melakukan pengalihan saham BUMN dengan skema inbreng ke PT Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) atau BKI dalam rangka pendirian holding operasional Danantara.
Managing Director Finance Danantara Arief Budiman menyatakan bahwa mandat Danantara sangat jelas, yakni menjadi holding operasional untuk 52 BUMN dan mesin investasi strategis negara. Lewat Danantara, kata Arief, dividen BUMN akan dikelola dan diarahkan untuk memacu investasi di sejumlah sektor produktif, seperti ketahanan energi dan pangan, manufaktur, serta sektor kesehatan dan pendidikan.
“Investasi harus diarahkan pada sektor-sektor yang meningkatkan produktivitas, dan di situlah letak pentingnya investasi-investasi ini,” katanya.
Dia juga menggarisbawahi bahwa pendekatan Danantara turut memperhatikan aspek tata kelola korporasi yang baik, khususnya dalam pemisahan fungsi pelayanan publik (PSO) dan entitas pelat merah yang benar-benar berorientasi komersial.
________
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.