Bisnis.com, JAKARTA - Harga emas naik lebih dari 1% karena kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi akibat ketidakpastian seputar rencana tarif Presiden AS Donald Trump. Sementara itu, harga batu bara dan CPO terpantau melemah
Melansir Reuters pada Rabu (19/2/2025), Harga emas di pasar spot naik 1,2% menjadi US$2.932,79 per troy ounce setelah mencapai rekor tertinggi US$2.942,70 minggu lalu. Sementara itu, harga emas berjangka AS terpantau naik 1,7% pada US$2.949 per troy ounce.
Analis senior Kitco Metals Jim Wyckoff mengatakan pasar merespons ketidakpastian politik di Washington dengan meningkatkan kepemilikan aset safe haven seperti emas.
“Selain itu, dari sisi teknikal, tren harga saat ini juga mengarah bullish,” jelas Wyckoff.
Sejak dilantik bulan lalu, Trump telah mengubah dinamika perdagangan global dengan menerapkan berbagai tarif baru. Pemerintahannya juga tengah merancang kebijakan tarif balasan terhadap negara-negara yang memberlakukan pajak atas produk AS.
Analis Commerzbank dalam laporannya mengatakan dukungan tambahan bagi emas juga datang dari aksi beli bank sentral, yang kemungkinan akan terus berlanjut.
Baca Juga
Pasar kini mengalihkan perhatian ke risalah pertemuan Federal Reserve AS yang akan dirilis Rabu, guna mencari indikasi terkait arah kebijakan suku bunga ke depan.
“Jika ekonomi mulai tersendat akibat dampak perang dagang, ada kemungkinan The Fed mempertimbangkan pemangkasan suku bunga,” tambah Wyckoff.
Emas yang merupakan aset safe haven mendapat manfaat dari ketidakpastian geopolitik dan ekonomi dan cenderung berkembang di lingkungan suku bunga rendah karena tidak menghasilkan bunga.
“Sementara tren yang lebih luas tetap ada, risiko kemunduran yang lebih dalam tidak dapat diabaikan pada level yang tinggi ini. Agar emas dapat mencapai level tertinggi baru, mungkin diperlukan peningkatan risiko geopolitik, terutama mengenai Ukraina,” kata Fawad Razaqzada, analis pasar di City Index dan FOREX.com.
Harga Batu Bara
Sementara itu, berdasarkan data dari Bar Chart, harga batu bara kontrak Februari 2025 di ICE Newcastle pada penutupan perdagangan Selasa (18/2/2025) turun 1,13% ke level US$100,85 per metrik ton. Sementara itu, harga batu bara kontrak Maret 2025 stagnan pada level US$104,60 per metrik ton.
Laporan Tim ekonom Bank Dunia, Paolo Agnolucci, Matias Guerra Urzua dan Nikita Makarenko, menyebut, harga batu bara thermal kemungkinan akan turun pada 2025 dan 2026 karena konsumsi global yang lebih rendah.
Bank Dunia mengatakan, konsumsi batu bara thermal global diperkirakan akan menurun pada 2025 dan semakin menyusut pada 2026, menyusul kenaikan sebesar 1% pada enam bulan pertama tahun 2024
Mereka menyebut, permintaan listrik tambahan di China, konsumen batu bara terbesar di dunia, sebagian besar dipenuhi oleh energi terbarukan dan pembangkit listrik tenaga air, sementara India mendorong peningkatan konsumsi batu bara global pada paruh pertama tahun 2024.
"Konsumsi batu bara global diperkirakan akan sedikit menurun pada 2025, dan terus menurun pada 2026, seiring dengan semakin cepatnya peralihan ke energi terbarukan dan gas alam untuk pembangkit listrik, sehingga menggantikan batubara," jelas laporan tersebut.
Tim peneliti Bank Dunia melihat adanya penurunan harga batu bara thermal sebesar 12% pada 2025 dan 2026. Saat ini, harga batu bara termal Newcastle berada pada kisaran US$114,55 per ton.
Harga CPO
Sementara itu, harga komoditas minyak kelapa sawit atau CPO berjangka pada penutupan perdagangan Selasa (18/2/2025) kontrak Maret 2025 turun 46 poin ke 4.696 ringgit per ton di Bursa derivatif Malaysia. Kemudian, kontrak April 2025 juga melemah 46 poin pada level 4.586 ringgit per ton.
Melansir Bernama, pelemahan harga CPO sejalan dengan tren serupa pada jenis minyak nabati lainnya dan minimnya data fundamental.
Analis senior Fastmarkets Palm Oil Analytics Sathia Varqa mencatat harga CPO juga tertekan oleh aksi ambil untung setelah dua hari menguat.
"Pedagang juga menilai tanda-tanda peningkatan produksi bulan Februari dan pelemahan ekspor,” katanya.
Sementara itu, pedagang minyak sawit David Ng mengatakan harga CPO berjangka berakhir lebih rendah, mengikuti tren tersebut pelemahan di pasar minyak kedelai dan minyak sawit Dalian.
"Sentimen juga terbebani oleh ekspektasi output yang lebih tinggi beberapa minggu mendatang, yang dapat menyebabkan peningkatan inventaris secara keseluruhan di Malaysia.
"Kami melihat level support CPO pada 4.480 ringgit per ton dan resistance di 4.620 ringgit per ton," kata Ng.