Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar negara-negara Asia bergerak variatif terhadap dolar AS sepanjang Januari 2025 di tengah gejolak geopolitik global. Baht Thailand tampil paling perkasa, sedangkan rupee India paling terpuruk.
Berdasarkan data Bloomberg hingga Jumat (31/1/2025) pukul 16.00 WIB, indeks dolar AS terpantau menguat 0,406% ke 108,203.
Sepanjang tahun berjalan 2025, indeks yang mengukur nilai tukar dolar AS di hadapan sekeranjang mata uang utama itu sempat menyentuh level tertinggi 109,65 pada 10 Januari 2025.
Di kawasan Asia, rupee India menjadi nilai tukar yang paling boncos di hadapan dolar AS pada Januari 2025. Rupee India tercatat turun 1,19% sebulan terakhir ke level 86,647.
Selain rupee, rupiah Indonesia juga terdepresiasi 1,06% dalam sebulan dan parkir di level Rp16.305 per dolar AS. Di belakang rupiah, ada peso Filipina yang terkoreksi 0,67% dan dolar Hong Kong yang melemah 0,31%.
Berbanding terbalik, sejumlah mata uang negara-negara Asia lain mampu menguat terhadap dolar AS pada Januari 2025.
Baht Thailand paling bertenaga dengan apresiasi sebesar 2,13% ke level 33,634 per dolar AS. Di belakang baht, won Korea Selatan menguat 1,99% dan yen Jepang terapresiasi 1,66% pada bulan pertama 2025.
Sementara itu, dolar Singapura pada Januari 2025 menguat 0,78%, renminbi China naik 0,7%, dan ringgit Malaysia menguat 0,42%.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menuturkan bahwa nilai tukar rupiah yang melewati Rp16.300 per dolar AS cenderung stabil di tengah ketidakpastian global yang berlanjut.
"Kami sudah menakar nilai tukar sekarang itu relatif stabil dan sejalan dengan nilai fundamentalnya," ujarnya dalam konferensi pers, Rabu (15/1/2025).
Perry menjelaskan bahwa kebijakan nilai tukar BI terus diarahkan untuk menjaga stabilitas rupiah dari dampak makin tingginya ketidakpastian global.
Baca Juga : Anggota DEN Chatib Basri Sebut Bank Indonesia (BI) Tak Miliki Ruang Pangkas BI Rate di 2025 |
---|
BI menilai pergerakan kurs dipengaruhi oleh makin tingginya ketidakpastian global terutama terkait dengan arah kebijakan AS, ruang penurunan suku bunga The Fed yang lebih rendah, penguatan mata uang dolar AS secara luas.
Akibat indeks dolar (DXY) yang menguat, menambah tekanan terhadap pelemahan mata uang dunia, termasuk Indonesia.
Selain itu, risiko geopolitik yang mengakibatkan berlanjutnya preferensi investor global untuk memindahkan alokasi portofolionya kembali ke AS juga berkontribusi terhadap pelemahan rupiah.
Meski demikian, Perry menekankan bahwa secara umum pelemahan tersebut tetap terkendali.
"Ke depan, rupiah diperkirakan stabil didukung komitmen Bank Indonesia menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, imbal hasil yang menarik, inflasi yang rendah, dan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap baik," ujarnya.