Bisnis.com, JAKARTA - Bursa Asia terpantau menguat pada awal perdagangan Senin (27/1/2025) meski dibayangi kehati-hatian terkait prospek pemulihan global setelah keputusan Presiden AS Donald Trump untuk mengenakan tarif dan sanksi pada Kolombia.
Berdasarkan data Bloomberg, indeks Topix Jepang terpantau menguat 0,53% ke 2.765,50. Indeks komposit Shanghai di China juga tercatat naik 0,49% ke level 3.268,67, sedangkan indeks Hang Seng Hong Kong menguat 0,98% ke level 20.262,93.
Selanjutnya, kontrak berjangka ekuitas AS merosot, memangkas kenaikan minggu lalu yang merupakan awal terbaik masa jabatan presiden sejak 1985. Adapun, pasar saham dan obligasi Australia tutup karena hari libur.
Pasar global bangkit minggu lalu karena kekhawatiran perang dagang global akan meletus pada hari-hari pertama masa jabatan Trump mereda setelah Presiden menghindari penerapan pungutan impor langsung atas barang-barang dari Meksiko, Kanada, dan China.
Namun, ancaman muncul kembali setelah Trump memerintahkan sanksi perdagangan yang menghukum Kolombia pada hari Minggu karena menolak penerbangan deportasi AS atas masalah hak asasi manusia.
"Masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa kita telah keluar dari ancaman tarif puncak. Risiko Asia masih rentan terhadap ketidakpastian tarif. Meski demikian, nada tarif yang kurang agresif atau lunak akan disambut baik dalam jangka pendek," kata Wee Khoon Chong, seorang ahli strategi di BNY di Hong Kong seperti dilansir Bloomberg.
Dolar menguat pada perdagangan awal Asia menyusul sanksi perdagangan terhadap Kolombia sementara peso Meksiko menurun. Pergerakan tersebut memangkas kemerosotan terbesar greenback dalam lebih dari setahun minggu lalu karena proksi untuk tarif China termasuk dolar Australia menguat.
Ujian lebih lanjut terhadap sentimen muncul dengan data aktivitas China yang akan dirilis hari Senin. Data tersebut kemungkinan akan menunjukkan momentum pelemahan di sektor manufaktur China.
Namun, pergerakan di Asia mungkin diperburuk oleh perdagangan yang sepi dengan pusat-pusat utama mulai tutup pada pertengahan minggu untuk liburan Tahun Baru Imlek.
Sementara itu, Bank sentral AS secara luas diperkirakan akan mempertahankan suku bunga tetap stabil pada akhir pertemuan dua hari pada Rabu (29/1/2025) mendatang. Hal ini akan menandai jeda pertama dalam siklus pemotongan suku bunga yang dimulai pada bulan September.
Tim ekonom ANZ Group Holdings Ltd., termasuk Sharon Zollner dalam laporannya mengatakan, ekonomi AS tetap kuat dengan pertumbuhan lapangan kerja yang pesat dan penurunan inflasi telah melambat. Oleh karena itu, dia menilai tidak perlu memangkas suku bunga secara mendesak.
"Selain itu, kebijakan perdagangan dan tarif AS yang belum dikonfirmasi, upaya efisiensi pemerintah federal, kebijakan energi yang difokuskan kembali, dan deregulasi semuanya memiliki implikasi terhadap pertumbuhan dan inflasi. Hal ini membenarkan kehati-hatian FOMC," jelasnya.