Bisnis.com, JAKARTA - Harga emas naik ke level tertinggi dalam lebih dari satu bulan setelah data ekonomi AS terbaru meningkatkan harapan pasar untuk kebijakan The Fed yang lebih dovish. Harga batu bara terpantau menguat, sedangkan minyak sawit mentah (CPO) terkoreksi.
Mengutip Reuters, Jumat (17/1/2025), harga emas di pasar spot naik 0,8% menjadi US$2.716,91 per ons, mencapai level tertinggi sejak 12 Desember.
Adapun, harga emas mencapai level tertinggi sepanjang masa USdi $2.790,15 pada 31 Oktober 2024. Sementara itu, harga emas berjangka AS terpantau menguat 1,2% pada level US$2.750,90.
Klaim awal untuk tunjangan pengangguran negara naik menjadi 217.000 yang disesuaikan secara musiman untuk minggu yang berakhir pada 11 Januari, kata Departemen Tenaga Kerja pada hari Kamis. Sebuah jajak pendapat Reuters memperkirakan 210.000 klaim.
Alex Ebkarian, Kepala Operasi di Allegiance Gold, mengatakan, klaim pengangguran awal lebih banyak dari yang diharapkan, sehingga menandakan adanya pelemahan di pasar tenaga kerja.
"Kami juga melihat imbal hasil Treasury AS turun, jadi kami melihat daya tarik emas kembali menguat," katanya.
Baca Juga
Sementara itu, imbal hasil obligasi AS atau US Treasury tenor 10 tahun memangkas kenaikan dan diperdagangkan pada level terendah dalam lebih dari satu minggu setelah data penjualan ritel, klaim pengangguran, dan harga impor.
Harga emas melanjutkan kenaikan setelah data menunjukkan inflasi inti AS meningkat 0,2% pada bulan Desember setelah naik 0,3% selama empat bulan berturut-turut, yang juga memberikan harapan untuk pelonggaran kebijakan moneter.
Harga Batu Bara
Berdasarkan data dari Bar Chart, harga batu bara kontrak Januari 2025 di ICE Newcastle naik 0,22% ke level US$114,70 per metrik ton. Sementara itu, harga batu bara kontrak Februari 2025 menguat 1,31% ke level US$116,60 per metrik ton.
Laporan Commodity Market Outlook dari Bank Dunia menyebut, harga batu bara diperkirakan turun sekitar 12% pada 2025 dan 2026 secara year on year, setelah penurunan sebesar 21% pada 2024. Konsumsi batu bara global juga diperkirakan akan menyusut pada 2025 dan 2026.
Permintaan batu bara di China diperkirakan akan menurun pada 2025, sementara pertumbuhan permintaan di India kemungkinan akan melambat. Penurunan konsumsi batu bara diperkirakan akan meningkat pada 2026. Hal tersebut seiring dengan menurunnya permintaan di China, Eropa, dan Amerika Serikat.
"Hal ini dipicu oleh semakin besarnya pangsa pembangkit listrik dari energi terbarukan dan gas alam yang sebagian besar berasal dari batu bara," demikian kutipan laporan tersebut.
Jika proyeksi tersebut terealisasi, Bank Dunia memprediksi konsumsi batu bara global akan mencapai puncaknya pada 2024—menandai tonggak penting dalam transisi energi global.
Harga CPO
Sementara itu, harga komoditas minyak kelapa sawit atau CPO berjangka pada penutupan perdagangan Kamis (16/1/2025) kontrak Februari 2025 melemah 44 poin ke 4.468 ringgit per ton di Bursa derivatif Malaysia. Kemudian, kontrak Maret 2025 juga menurun sebesar 66 poin pada level 4.298 ringgit per ton.
Mengutip Bernama, pedagang minyak kelapa sawit David Ng mengatakan volume ekspor yang lesu juga berkontribusi terhadap penurunan tersebut.
"Kami melihat dukungan untuk harga CPO pada 4.100 ringgit per ton dan resistensi pada 4.350 perringgit ton," katanya.
Sementara itu, Kepala penelitian komoditas Sunvin Group, Anilkumar Bagani mengatakan penurunan harga minyak lobak berjangka China turut menekan harga CPO. Penurunan juga dipengaruhi oleh tidak adanya permintaan baru dari pasar tujuan utama, India, China, dan Uni Eropa.
Selain itu, potensi revisi yang lebih rendah untuk bea masuk dan retribusi gabungan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia yang terutang bersih pada bulan Februari karena penurunan harga minyak kelapa sawit baru-baru ini dapat mengakibatkan penurunan tajam pada harga referensi minyak kelapa sawit.