Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga Auditor Ernst and Young (EY) menyebutkan pasar IPO Indonesia mengalami perlambatan pada tiga kuartal 2024. EY mencatat IPO Indonesia berhasil mencatatkan 34 IPO dan mengumpulkan total dana sebesar US$300 juta.
EY menyampaikan kinerja IPO ini jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebanyak 66 IPO, dan menghasilkan pendanaan total US$3,3 miliar. Selain itu, EY juga mencatat perolehan dana IPO Indonesia pada kuartal III/2024 juga lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia sebesar US$1,4 miliar dan Thailand US$0,6 miliar.
“Perlambatan ini terutama disebabkan oleh pemilihan umum pada awal tahun ini dan antisipasi investor terhadap pembentukan pemerintahan baru pada Oktober 2024," kata Reuben Tirtawidjaja, EY Indonesia Strategy and Transactions Partner dalam keterangan resminya, Senin (14/10/2024).
Menurut Reuben, hal tersebut mempengaruhi keputusan seputar IPO karena investor semakin berhati-hati. Dia juga menyebut banyak investor yang lebih memilih untuk mengambil pendekatan wait and see mengenai kebijakan pemerintah yang akan datang sebelum membuat keputusan investasi.
Ke depannya, EY memperkirakan IPO energi terbarukan mungkin menjadi salah satu sektor yang harus dicermati mengingat semakin besarnya minat pasar terhadap sektor ini. Menurut EY telah terjadi beberapa kali IPO dalam 5 tahun terakhir di sektor ini, termasuk suksesnya pencatatan saham perdana PT Kencana Energi Lestari Tbk. (KEEN), PT. Arkora Hydro Tbk. (ARKO), PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO), dan PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN).
Reuben menuturkan meskipun jumlah IPO energi terbarukan mungkin tidak terlalu mengesankan, harga saham perusahaan-perusahaan ini telah meningkat setidaknya 30% pada 30 September 2024 sejak penawaran perdana mereka. Kenaikan harga saham emiten-emiten energi terbarukan itu menunjukkan tingginya minat investor.
"Mengingat komitmen Indonesia untuk mencapai emisi nol bersih pada 2060 dan antisipasi kebijakan yang menguntungkan dari pemerintahan baru terhadap industri energi terbarukan, diharapkan lebih banyak perusahaan energi terbarukan akan melakukan IPO pada tahun-tahun mendatang,” ucap Reuben.
EY melanjutkan pasar IPO pada sisa tahun ini diperkirakan akan dipengaruhi oleh kebijakan bank sentral, perkembangan geopolitik, dan hasil pemilu. Optimisme dipicu oleh penurunan suku bunga dan penurunan inflasi, yang kemungkinan akan mendorong pencatatan saham baru dan kebangkitan sektor-sektor yang sensitif terhadap biaya pinjaman.
EY Global IPO Leader George Chan mengatakan Investor bersiap menghadapi paruh kedua 2024 yang lebih bergejolak. Ketika inflasi dan suku bunga menurun, faktor-faktor baru lainnya akan menjadi prioritas dalam mempengaruhi keputusan IPO.
"Dalam lingkungan dengan ketidakpastian yang meningkat ini, masuknya pasar pada waktu yang tepat dan narasi ekuitas yang menarik sangatlah penting untuk bisnis yang ingin memanfaatkan peluang IPO," ucapnya.
Di sisi lain, EY mencatat meski IPO Indonesia mengalami perlambatan, indeks harga saham gabungan (IHSG) mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari 7.139 pada awal Juli hingga mencapai puncaknya pada 7.905 pada pertengahan September 2024.
Lonjakan ini dipicu oleh penurunan suku bunga Bank Indonesia sebesar 25 basis poin menjadi 6% pada pertengahan September 2024.
Selain itu, Federal Reserve juga menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin pada periode yang sama, sedangkan penurunan suku bunga lainnya diperkirakan terjadi pada November 2024, yang dapat memberikan sentimen positif lebih lanjut bagi pasar modal Indonesia.