Bisnis.com, JAKARTA – Eskalasi konflik Timur Tengah dan upaya pemerintah China menggenjot perekonomiannya dinilai akan menimbulkan efek positif sesaat bagi pasar komoditas.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menuturkan saat ini pasar komoditas masih cenderung stagnan. Menurutnya, saat ini dampak dari langkah pemerintah China seperti menggelontorkan stimulus dan memangkas suku bunga belum terlihat secara optimal.
Dia mengatakan hal tersebut karena adanya anggapan pasar yang menyebut seharusnya stimulus tersebut dikeluarkan 3 bulan sebelumnya.
“Efeknya bisa kelihatan dari data manufaktur yang terjadi kontraksi, neraca perdagangan [China] pada impornya juga mengalami penurunan. Ini yang membuat impor komoditas China mengalami penurunan yang cukup signifikan,” jelasnya saat dihubungi, Rabu (9/10/2024).
Sementara itu, dampak sentimen eskalasi konflik di Timur Tengah saat ini memang sudah terlihat dari adanya kenaikan harga minyak dunia yang sempat mencapai US$80 per barel. Namun, Ibrahim menilai, saat tensi ini menurun para pelaku pasar akan cenderung melakukan profit taking yang dapat menekan harga.
Menurutnya, saat ini investor sedang mencermati sentimen serangan balik yang direncanakan Israel terhadap Iran pada kawasan Timur Tengah.
Baca Juga
Sementara itu, harga komoditas juga akan dipengaruhi oleh kondisi perekonomian AS yang terus membaik. Hal tersebut salah satunya terindikasi dari rilis data ekonomi pekan lalu yang menunjukkan penurunan angka pengangguran.
Ibrahim menuturkan, hal ini menimbulkan spekulasi bahwa bank sentral AS, The Fed, kemungkinan baru akan menurunkan suku bunga lagi pada November mendatang sebesar 25 basis poin.
“Ini artinya pada bulan Oktober ada kekosongan tentang spekulasi penurunan suku bunga. Ini yang membuat kemungkinan besar akan memicu kontraksi harga komoditas,” jelas Ibrahim.
Meski demikian, Ibrahim optimistis harga komoditas masih akan menunjukkan tren positif di sisa 2024 dengan sentimen-sentimen ini. Menurutnya, harga emas masih memiliki ruang penguatan menuju US$2.700 per troy ounce seiring dengan potensi kelanjutan pemangkasan suku bunga The Fed.
Sementara itu, harga minyak mentah diprediksi akan bergerak di kisaran US$76-US$77 per barel. Menurutnya, harga minyak sulit untuk mencapai level US$80 per barel seiring dengan menurunnya impor yang dilakukan China akibat perekonomiannya yang lesu.
“Biasanya untuk minyak mentah total impor China mencapai 20% dari keseluruhan, sementara saat ini hanya 13%, ada penurunan yang cukup signifikan,” kata Ibrahim.
Sementara itu, harga batu bara juga masih berpotensi menguat ke kisaran US$160 per ton hingga akhir tahun ini. Dia menuturkan, hal ini seiring dengan kondisi perang antara Rusia dan Ukraina yang menghambat ekspor komoditas ini dari Rusia ke kawasan Eropa.