Bisnis.com, JAKARTA – Emiten BUMN pertambangan PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) siap bermanuver membidik pasar di Asia Tenggara dan Asia Selatan usai China menginjak rem pengembangan baru proyek pembangkit listrik tenaga batu bara.
SVP Management Office PTBA Setiadi Wicaksono menyatakan perseroan masih cukup optimistis terhadap prospek industri batu bara. Meskipun, diakui saat ini terdapat pembatasan batu bara di sejumlah negara-negara maju, tak terkecuali China.
“Di sisi lain, kami melihat beberapa potensi lain di negara-negara berkembang seperti Asia Tenggara dan Asia Selatan. Negara seperti India, Bangladesh, dan Pakistan juga menjadi pasar yang menarik ke depannya,” tuturnya dalam Pubex Live 2024, Selasa (27/8/2024).
Pada semester I/2024, terdapat sejumlah pasar ekspor yang mampu dioptimalkan oleh perseroan, antara lain Bangladesh dan Filipina. Potensi di pasar-pasar utama juga tetap dipacu, semisal, ekspor ke India yang meningkat 37% menjadi 3 juta ton.
Di sisi lain, ekspor ke Thailand, Malaysia, dan Vietnam turut melonjak. PTBA melaporkan penjualan ke Thailand mencapai 933.000 ton pada semester I/2024, atau melesat 605% YoY.
Sementara itu, ekspor ke Malaysia mencatatkan kenaikan 257% YoY menjadi 488.000 ton, sedangkan penjualan ke Vietnam melambung 164% secara tahunan menjadi 1,2 juta ton.
Baca Juga
Setiadi menambahkan PTBA juga menyiapkan sejumlah proyek pengembangan di sektor energi dan hilirisasi guna mengamankan penggunaan batu bara dari sisi domestik.
“Jadi, dari sisi energi maupun hilirisasi merupakan proyek-proyek ke depannya yang secara jangka panjang diharapkan bisa mengamankan pemakaian batu bara Bukit Asam di sisi domestik melalui dua proyek tersebut,” pungkasnya.
Di samping itu, PTBA turut berfokus dalam pengembangan proyek energi baru terbarukan (EBT). Perseroan kin tengah menjajaki kerja sama dengan sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lain, serta berupaya mengembangkan di lahan pasca tambang PTBA.
Menurut Setiadi, pengembangan proyek EBT akan menjadi perhatian utama perseroan untuk lima tahun mendatang. Dia juga berharap proyek hijau tersebut mampu menjadi saluran baru bagi pendapatan perseroan untuk masa-masa mendatang.
“Kami juga nantinya berharap bahwa dengan adanya proyek-proyek EBT ini bisa menjadi salah satu pipeline baru di luar industri tambang kami,” ucapanya.
Berdasarkan catatan Bisnis.com, China menerapkan kebijakan untuk mengerem pemberian izin terhadap pengembangan pembangkit listrik tenaga batu bara. Langkah itu tidak terlepas dari pesatnya penerapan EBT.
Laporan hasil studi bersama yang dilakukan oleh Centre for Research on Energy and Clean Air dan Global Energy Monitor (GEM) menunjukkan pemberian izin pengembangan pembangkit listrik tenaga batu bara baru di China hanya sebesar 9 gigawatts (GW) pada semester I/2024. Jumlah ini 83% lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu.
Akan tetapi, laporan tersebut juga mencatat pipeline untuk pembangkit listrik tenaga batu bara di China masih besar dan menjadi tantangan bagi target iklim di negara tersebut. Studi menemukan izin tahunan melebihi 100 GW per tahun pada 2022 dan 2023.
Tercatat, lebih dari 41 GW pembangkit listrik tenaga batu bara dalam tahap konstruksi pada semester I/2024. Jumlah itu melebihi 90% dari total yang dibangun di seluruh dunia.
Analis Global Energy Monitor Christine Shearer menyampaikan bahwa China harus membatalkan proposal batu bara yang tersisa karena energi bersih kini diklaim mampu memenuhi pertumbuhan permintaan listrik di negara tersebut.
“China harus membatalkan sisanya proposal batu bara dan mempercepat penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara yang sudah ada,” ujarnya dikutip dari Bloomberg.
------------------------------
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.