Bisnis.com, JAKARTA - Aliran modal investor asing ke pasar obligasi Indonesia masih terganjal ketidakpastian kebijakan suku bunga Bank Sentral AS atau Federal Reserve (The Fed).
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, prospek pasar surat utang pada sisa tahun ini masih sangat bergantung pada sentimen global, sejalan dengan ketidakpastian global terkait arah suku bunga The Fed yang masih menjadi tantangan aliran modal asing ke pasar obligasi domestik.
"Sisi eksternal ini masih menjadi risiko utama dari permintaan obligasi domestik, terefleksi dari net outflow yang terjadi dalam 3 bulan terakhir. Sentimen ketidakpastian global diperkirakan masih berlanjut hingga paruh kedua 2024," ujar Josua kepada Bisnis, Senin (20/5/2024).
Menurutnya, penerbitan obligasi pada tahun ini cenderung terhambat oleh berubahnya ekspektasi pemotongan suku bunga oleh pelaku pasar, dari sebelumnya ekpsektasi pemotongan hingga 125bps menjadi hanya 25-50bps pada 2024.
Perubahan ekspektasi ini membuat para investor untuk lebih berhati-hati dalam berinvestasi di pasar obligasi domestik. Sentimen ini diperkirakan mulai mereda ketika ekonomi indikator ekonomi AS mulai melambat, dan The Fed sudah mulai memberikan sinyal pemotongan suku bunga.
Kendati demikian, pada tahun depan menurutnya permintaan obligasi akan cenderung meningkat pada awal tahun 2025, sejalan dengan proyeksi bahwa pemotongan suku bunga The Fed maupun BI sudah dimulai sejak awal 2025. Sejauh ini suku bunga The Fed masih bertahan di kisaran 5,25%-5,5%.
Baca Juga
Senada, Head of Investment Specialist Sinarmas AM Domingus Sinarta Ginting menambahkan, pasar masih menunggu data-data ekonomi Amerika Serikat dan juga sikap dari The Fed yang membuat volatilitas yang cukup tinggi dalam dua bulan terakhir.
"Namun dari data inflasi terakhir yang sudah terlihat sudah mulai menurun, terdapat kemungkinan The Fed akan menurunkan suku bunga menjelang akhir tahun. Ini yang membuat prospek hingga akhir tahun masih positif," ujar Domingus kepada Bisnis.
Kendati demikian, menurutnya aksi penggalangan dana di pasar obligasi baik Surat Berharga Negara (SBN) atau korporasi relatif lesu sepanjang 2024. Di pasar SBN, bid to cover ratio dalam lelang terakhir berada di bawah rata-rata dan penerbitan obligasi relatif turun secara tahunan (year-on-year/YoY).
"Sentimen yang mempengaruhi pasar terhadap minat pembelian obligasi masih sekitar suku bunga The Fed dan juga stabilitas dari rupiah," pungkas Domingus.
Berdasarkan data transaksi Bank Indonesia (BI) pada 13 – 16 Mei 2024, non-residen di pasar keuangan domestik tercatat beli neto Rp22,06 triliun terdiri dari beli neto Rp5,30 triliun di pasar SBN, jual neto Rp2,40 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp19,17 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Sepanjang 2024, berdasarkan data setelmen hingga 16 Mei 2024, non-residen jual neto Rp42,27 triliun di pasar SBN, jual neto Rp2,05 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp53,18 triliun di SRBI.
Pada perkembangan lain, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) resmi menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dalam valuta asing berdenominasi yen Jepang atau Samurai Bond senilai 200 miliar yen atau setara Rp20,51 triliun (kurs Rp102,57 per yen Jepang) pada Jumat 17 Mei 2024.
DJPPR Kemenkeu mengatakan penerbitan Samurai Bond ini ditujukan untuk pembiayaan APBN 2024. Hasil penerbitan Blue Bonds digunakan untuk mendanai proyek-proyek yang termasuk dalam kualifikasi belanja sektor biru atau terkait kemaritiman sesuai dengan SDGs Framework.