Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) memberikan sinyal kepada para produsen logam baterai di negara lain bahwa tidak akan ada kenaikan harga nikel yang signifikan.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Septian Hario Seto mengatakan bahwa harga tidak mungkin naik jauh di atas US$18.000 per ton di London Metal Exchange (LME).
Dirinya menyampaikan bahwa Indonesia memastikan pasar tetap dipasok dengan baik untuk menjaga biaya lebih rendah bagi produsen kendaraan listrik.
"Konsep ini harus dipahami dengan baik oleh semua produsen nikel di tempat lain. Tujuan pemerintah adalah untuk menemukan keseimbangan sehingga permintaan nikel, terutama untuk kendaraan listrik, dapat dipasok dengan baik," ujarnya dikutip dari Bloomberg, Minggu (3/3/2024).
Harga nikel tercatat anjlok sekitar 45% tahun lalu, dan sempat turun ke bawah US$16.000 per ton pada awal Februari, karena permintaan goyah dan pasokan dari Indonesia melonjak hingga lebih dari 50% dari total global.
Hampir separuh dari seluruh operasi nikel di seluruh dunia tidak menguntungkan pada tingkat harga saat ini, sehingga memaksa para penambang di Australia dan Kaledonia Baru mempertimbangkan untuk berhenti beroperasi.
Baca Juga
Septian menyebutkan, harga nikel harus dijaga tetap berada di atas US$15.000 per ton, karena pabrik-pabrik peleburan di Indonesia akan dipaksa untuk memangkas produksi di bawah level tersebut.
Pada Jumat (1/3/2024), harga nikel tercatat telah melorot 43,5% secara tahun berjalan (year-to-date/YtD) menjadi US$17.486 per ton di LME.
Meskipun harga logam baterai secara umum berada dalam tren penurunan, permintaan masih akan meningkat dalam jangka panjang karena peningkatan penggunaan kendaraan listrik.
Indonesia, dengan bantuan perusahaan-perusahaan China, telah bergerak untuk memanfaatkan potensi tersebut dengan pabrik-pabrik pengolahan baru yang membuat campuran endapan hidroksida (MHP). Komoditas tersebut menjadi penting dalam industri mobil.
Indonesia berharap total kapasitas fasilitas-fasilitas tersebut akan meningkat dua kali lipat dalam tiga tahun ke depan.
Septian menyebutkan hal ini seharusnya cukup untuk memenuhi permintaan sektor ini yang terus meningkat. Indonesia melihat bahwa menjaga harga untuk sektor kendaraan listrik adalah kunci untuk memastikan baterai berbasis nikel tetap kompetitif dengan alternatif yang lebih murah, termasuk lithium iron phosphate.
"Kita tahu apa yang terjadi dengan kobalt tiga atau empat tahun yang lalu. Anda harus memastikan semua orang dalam ekosistem memiliki profitabilitas yang baik, bukan yang berlebihan,” lanjutnya.
Septian melihat produksi MHP Indonesia, yang sebagian besar berasal dari fasilitas milik China, semakin banyak diikat dalam kesepakatan off-take. Pembuatan bahan kimia ini jauh lebih tidak intensif karbon dibandingkan dengan memproduksi nikel untuk baterai melalui peleburan bertenaga batu bara, yang merupakan bagian terbesar dari kapasitas negara Asia Tenggara ini.
Hal ini penting bagi perusahaan-perusahaan mobil listrik yang membeli nikel Indonesia, yang ingin menjaga kredensial iklim mereka.
Septian bahkan menyebutkan beberapa produsen mobil Eropa telah secara agresif mendekati para penambang Indonesia untuk mengunci kesepakatan pasokan, namun dirinya enggan menyebutkan nama perusahaan-perusahaan tersebut.
Sementara itu, produsen mobil AS mengkhawatirkan dominasi perusahaan-perusahaan China dalam rantai pasokan baterai global.
Sebagaimana AS yang memiliki Undang-undang Pengurangan Inflasi alias Inflation Reduction Act (IRA) yang menawarkan subsidi besar untuk produksi mobil listrik, asalkan mobil-mobil tersebut tidak dibuat dengan tingkat komponen dasar China yang terlalu tinggi.
Indonesia telah mengupayakan kesepakatan mineral penting dengan AS untuk memastikan nikelnya memainkan peran kunci dalam rantai pasokan EV perusahaan-perusahaan Amerika.
Pemerintah pun telah mengumumkan rencana untuk melacak bijih nikel untuk meredakan kekhawatiran tentang kepatuhan terhadap standar lingkungan dan tenaga kerja.
"Pesan yang kami sampaikan kepada AS adalah bahwa mereka tidak hanya menghadapi persaingan dari China untuk pasokan nikel yang berasal dari Indonesia. Mereka juga menghadapi persaingan dari teman-teman mereka di Eropa,” tutup Septian.